REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Sudjito berpendapat, pendidikan politik bagi calon pemilih perlu diutamakan. Sebab, akan menjadi penentu muncul atau tidaknya politik dinasti atau fenomena pengisian struktur jabatan kekuasaan berdasarkan hubungan kekerabatan.
"Politik dinasti muncul juga karena ada yang memilih, sehingga di sini pendidikan politik menjadi penting," kata Arie di Yogyakarta, Rabu (31/10).
Ia menilai, calon pemilih hingga kini masih rentan terjebak dengan politik uang, yang sering kali memengaruhi objektivitas dalam menentukan pilihan. "Kalau pemilihnya juga masih menjadi objek politik pragmatis atau terjebak politik uang, maka pemberantasan politik kekeluargaan juga sulit dilakukan," katanya.
Padahal sesungguhnya, menurut Arie, masyarakat telah memahami fakta, sistem politik kekeluargaan terbukti rentan terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Selain melalui penekanan pendidikan pemilih, politik dinasti juga perlu dicegah melalui pembuatan regulasi yang membatasi pencalonan. "Jadi, menurut saya, memang harus dilakukan (pembuatan regulasi), kalau kita memang ingin melakukan pembaharuan sistem," katanya.
Arie berkata, Undang-undang Dasar (UUD) 1945 memang tidak melarang kerabat atau keluarga untuk mencalonkan diri. Dalam UUD setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih.
Tetapi, menurut Arie, penghormatan terhadap hak memilih dan dipilih tersebut juga harus sesuai dengan prinsip equality dan etika.
"Kalau hanya berdasarkan hak, kemudian semua dapat berkuasa termasuk keluarga, itu artinya tidak memberi kesempatan yang lain atau tidak mempertimbangkan aspek equality," tutupnya.