REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suhu udara rata-rata harian yang dihitung dari selisih suhu sejak pagi hingga siang hari di Jakarta naik lima kali lipat dibandingkan dengan 100 tahun lalu, kata seorang pakar klimatologi.
"Fenomena 'heat island' ini disebabkan oleh industrialisasi," kata kata pakar klimatologi dari Jepang Prof Dr Manabu D Yamanaka yang merupakan pimpinan proyek Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development (Satreps) Maritime Continent Center of Excellence (MCCOE) kerja sama Indonesia dan Jepang di Jakarta, Rabu (6/11).
Ia mengatakan, fenomena memanasnya suhu udara harian lokal ini umum terjadi di berbagai kota besar dunia seperti Bangkok dan lain-lain termasuk Tokyo, namun kondisi di Jakarta menjadi sangat penting karena letaknya yang berada di kawasan ekuator.
Fenomena heat island di Tokyo atau kota-kota besar di negara-negara dengan lintang tinggi tidak berpengaruh banyak terhadap iklim global, tapi heat island di Indonesia berpengaruh terhadap iklim regional dan global, apa lagi Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di dua samudera.
Suhu udara di Indonesia itu mendorong uap air ke atas dan berpengaruh pada pola harian lokal seperti angin darat dan angin laut, yang akhirnya mempengaruhi belahan bumi lain serta saling berpengaruh pada El-Nino Southern Oscillation (ENSO) di Samudera Pasifik dan Dipole Mode di Samudera Hindia, ujarnya.
"Perubahan suhu udara yang meningkat pesat ini tentu saja berpengaruh juga pada perubahan iklim global," tambah koordinator proyek Satreps-MCCOE untuk Indonesia Dr Fadli Syamsuddin dari BPPT.
Kerja sama riset kedua negara yang bertujuan memantau variasi laut dan atmosfer di benua maritim Indonesia itu memanfaatkan jaringan observasi radar dan buoy di seluruh Indonesia, ujarnya.
Ia juga mengatakan, musim hujan kali ini tetap perlu diwaspadai meskipun dari pantauan pihaknya musim hujan Januari-Februari 2014 diramalkan normal di mana suhu permukaan laut di Samudera Hindia dan Pasifik kondusif.
Sementara itu, Kasie Informatika Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta Bambang Suryaputra mengatakan, untuk memantau musim hujan awal 2014 pihaknya akan memanfaatkan pesawat tanpa awak buatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) untuk pengamatan batas-batas genangan air.
"Tujuannya ke depan kami akan lebih dapat melakukan perbaikan dalam penanganan banjir," katanya.