Rabu 13 Nov 2013 19:32 WIB

Jimly: Konstitusi Mengakui Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Djibril Muhammad
Jimly Asshiddiqie
Foto: Yudhi Mahatma/Antara
Jimly Asshiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, LAMPUNG – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie mengatakan, Undang-Undang Dasar 1945 perubahan mengakui eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat.

Namun dalam implementasinya kesadaran mengenai kesatuan masyarakat hukum adat ini belum memuaskan.

Menurut Jimly, dalam UUD 1954 Pasal 18 B ayat 2, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU.

Tapi, sejak 15 tahun reformasi hingga sekarang, belum sungguh-sungguh dipahami apalagi diimplementasikan serta dicerminkan dalam kebijakan publik.

"Kita hanya berpatokan pada UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemda yang mencantumkan di dalamnya pasal-pasal bahwa urusan kesatuan masyarakat hukum adat tergantung bagaimana pengaturannya di dalam peraturan daerah (perda). Sementara, kalau diserahkan kepada perda pun tidak jelas apakah di perda provinsi atau perda kabupaten/ kota," ujar Jimly

Hal itu disampaikan dia dalam keterangan tertulis terkait kegiatan penyusunan strategi kebijakan pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-MK/2012 Tentang Pengakuan Hukum Adat dan Dinamika Masyarakat Adat di Lampung, Senin (11/11).

Sehingga, ia melanjutkan, ada daerah yang rajin membuat perda kesatuan masyarakat hukum adat, ada juga yang belum begitu rajin. Belum semua daerah punya perda terkait itu. Kalau pun ada daerah yang punya perda tentang kesatuan masyarakat hukum adat, itu pun masih sesuai dengan tafsir daerahnya masing-masing.

"Kebijakan mengenai kesatuan masyarakat hukum adat belum memuaskan. Sedangkan kita sedang menghadapi era baru, konsolidasi kekuasaan pasca reformasi," tutur pakar Tata Negara ini.

Jimly menerangkan, konsolidasi kekuasaan, belajar dari sejarah pada era kemerdekaan, demokrasi terpimpin, orde baru, hingga era reformasi cenderung mengesampingkan pentingnya keanekaragaman.

Konsolidasi kekuasaan cenderung menapikan eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat. "Kita saat ini mengutamakan konsolidasi kekuasaan dan biasanya diiringi kecenderungan etatisme, menegarakan semua kekuataan baik masyarakat, NGO-NGO maupun kesatuan masyarakat hukum adat," kata Jimly menjelaskan.

Padahal, ia melanjutkan, baik NGO dan maupun kesatuan masayarakat hukum adat, itulah kekayaan  bangsa Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di Eropa. Di negara-negara Eropa mengembangkan LSM itu sesudah  mereka berkenalan dengan organisasi negara.

"Ketika mereka (orang Eropa, red) berkenalan dengan kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia, mereka terheran-heran. Penulis Belanda, Cornelis Van Vollen Hoven, Terhar, dalam bukunya Ontdekker Van Het Adatrecht, terheran-heran dengan  kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia. Sehingga saat akan ditulis dalam Bahasa Belanda, kesulitan mencari istilah hukum adat dalam Bahasa Belanda. Jadinya Adat Recht. Di Belanda, tidak mengenal hukum adat," papar Jimly.

Lalu, tanya Jimly, kenapa MK memutuskan dalam Putusan terakhirnya itu, mengembalikan, meneguhkan kedudukan kesatuan masyarakat hukum adat, sebagai penguasa dari hukum adat. Karena jelas di pasal 18 b ayat 2 UUD 1945, negara mengakui dan menghormati eksistensi kesatuan hukum adat.

"Jadi strutktur organisasi kita bernegara tidak menghilangkan hak konstitusional kesatuan masayrakat hukum adat, struktur organisasi bernegara kita tidak menghilangkan organsasi kemasayrakatan," kata mantan Ketua MK ini.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement