REPUBLIKA.CO.ID,
Restoran bersertifikat halal di Indonesia kurang dari 10 persen.
JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Hal ini disebabkan masih adanya ketidaksepahaman antara DPR dan pemerintah.
Anggota Komisi VIII DPR Muhammad Baghowi menyatakan, akan lebih banyak masalah bila RUU ini disahkan.
“Jika ada dua pengusaha, yang satu dijamin kehalalannya dan satu lagi diragukan, nanti yang halal itu akan menggugat dan yang diragukan akan berdampak pada produksinya,” ujarnya, akhir pekan lalu.
Selain itu, Baghowi juga memaparkan masa berlaku sertifikasi halal adalah tiga tahun dan harus mulai mengurus perpanjangan sejak enam bulan sebelum masa berlakunya habis.
Jadi, dalam lima tahun pengusaha harus dua kali mengurus serfifikasi. Sedangkan, untuk sekali pengurusan biayanya mencapai Rp 6 juta atau Rp 12 juta dalam lima tahun.
Lagi pula, menurutnya, saat ini DPR masih menggodok lembaga yang berhak mengeluarkan sertifikasi terhadap kehalalan suatu produk, yang selama ini masih dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Baghowi menyatakan, karena MUI adalah ormas, lembaga tersebut dinilai tidak berhak melakukan sertifikasi. Menurutnya, yang berhak adalah negara.
Bahkan, ia menilai jika kehalalan sebagai urusan agama, bukan hanya MUI saja yang paham soal agama. Selain itu, Kementerian Kesehatan tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU JPH dan hanya melibatkan Kementerian Agama sebagai wakil dari pemerintah.
Pengawasan di daerah pun harus lebih dulu diperketat. Namun, saat ini belum ada pelatihan bagi petugas sertifikasi. Anggaran pun belum ada.
DPR juga masih berpikir tentang nasib pengusaha kecil jika aturan ini menjadi mandatori. “Jika diundang-undangkan, tidak ada yang didiskreditkan.
Semua sama. Lalu bagaimana dengan tukang bakso, apa harus urus sertifikasi, belum lagi perusahaan farmasi,” ujarnya.
Ia sadar peraturan JPH penting untuk menjamin masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, namun tidak bisa dipaksakan.
Menteri Agama Suryadharma Ali berharap RUU ini bisa segera disahkan menjadi undang-undang ketika ia masih menjabat.
RUU itu, menurutnya, sangat penting karena konsumen mempunyai hak untuk mengetahui status kehalalan dari produk yang digunakannya. “Produsen pun harus mengetahui dan menyosialisasikan kehalalan produk buatannya.”
Ketua Halal Watch Rachmat Os Halawa mengatakan, saat ini tak sampai 10 persen restoran bersertifikatkan halal di Indonesia.
Halal Watch menyebut langkah ideal untuk menumbuhkan kesadaran melakukan sertifikasi halal adalah edukasi. Baik untuk restoran maupun masyarakat.
Temuan Halal Watch di lapangan, banyak masyarakat yang masih tak acuh soal makanan bersertifikasi halal. Anggapan yang masih ada saat ini adalah kategori haram hanyalah makanan yang terbuat dari daging babi. Padahal, daging sapi dan ayam pun bisa haram kalau memotongnya tidak sesuai syariat Islam.
Kesadaran restoran untuk menyediakan masakan yang benar-benar halal pun belum cukup baik. Menurutnya, masih banyak restoran yang memakai khamar dalam masakan.
Penggunaan angciu dalam masakan juga masih lazim ditemui. Termasuk, penggunaan sake, brem cair, dan wine untuk masakan Barat.