Ahad 24 Nov 2013 23:53 WIB

Basmalah Kala Shalat, Keras atau Pelan?

Shalat berjamaah (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supri
Shalat berjamaah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah

Lebih baik menggabungkan antara keras dan pelan.

Dari sekian persoalan khilafiyah atau diperselisihkan antara ulama ialah seperti apakah membaca basmalah dalam shalat-shalat fardhu yang diharuskan mengeraskan bacaannya, antara lain, shalat Maghrib, Isya, dan Subuh.

Apakah basmalah tersebut dibaca dengan keras pula atau cukup dibaca pelan sebagaimana shalat Zhuhur dan Ashar?

Topik ini kembali hangat diperbincangkan, bahkan menjadi bahan cercaan di sebagian kalangan. Muncul saling menyalahkan antara satu dan lainnya.

Padahal, dalam kajian fikih klasik muncul silang pendapat ulama menyikapi masalah ini. Masing-masing kuat dengan argumentasi yang disampaikan.

Imam as-Shanani mengatakan, seperti dinukilkan dari kitab Subul as-Salam, topik ini telah banyak dikupas para ulama klasik dengan berbagai corak, mulai dari fikih hingga hadis.

Di antaranya, kitab al-Basmalah karya Abu Syamah, al-Khatib al-Baghdadi mengarang kitab al-Jahr bi al-Basmalah yang lantas oleh Imam adz-Dzahabi dibuat ringkasannya (mukhtashar).

Ibn Abd al-Barr menulis kitab al-Inshaf sebagai bentuk konstribusi pemikiran terkait topik ini. Karena itu, mestinya umat saat ini tak perlu saling menuding dan mengklaim paling benar.

Ada tiga pendapat utama terkait persoalan ini. Pendapat yang pertama menyatakan, tidak ada tuntunan untuk membaca basmalah dengan keras di kategori shalat yang dimaksud.

Basmalah cukup dibaca dengan pelan. Opsi ini merupakan  pendapat empat khalifah, yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Afan, dan Ali bin Abi Thalib. Ini juga pilihan Mazhab Ahmad dan Hanafi serta Ibnu Taimiyah.

Pendapat ini merujuk pada sejumlah dalil, antara lain, hadis dari Anas bin Malik riwayat Bukhari dan Muslim. Selaku orang yang sering menemani Rasulullah SAW, Anas belum pernah mendengar Rasul membaca basmalah dengan keras selama shalat. Ini dikuatkan pula dengan riwayat Abdullah bin Mughaffil dari Nasai dan Tirmidzi.

Sedangkan, pendapat yang kedua mengatakan, hendaknya membaca basmalah di kategori shalat tersebut secara keras. Ini adalah pandangan Imam Syafi'i.

Rujukan kelompok ini ialah hadis dari Na'im al-Mujammar. Dalam riwayat tersebut, Na'im menuturkan, Abu Hurairah membaca basmalah sebelum al-Fatihah.

Imam an-Nawawi mengatakan, pembacaan basmalah secara keras adalah pendapat mayoritas ulama dari sahabat, tabiin, para ahli fikih, dan para qari.

Dari kalangan sahabat, ada nama Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ammar bin Yasir, Ubai bin Ka'ab, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas.

Sementara, pihak yang ketiga mencoba menggabungkan kedua pendapat di atas. Seseorang leluasa memilih apakah harus mengeraskan bacaan basmalah atau hendak memelankannya.

Akan sangat baik bila sesekali dibaca keras dan di lain waktu dibaca pelan. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih dan Ibn Hazm. Senada dengan pihak ketiga, yaitu Qadi Abu at-Thayyib dan Ibn Abu Ya'la.

Menurut Ensklopedi Fatwa Kuwait (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah), selain ketiga pendapat di atas, masih terdapat pendapat yang lain.

Mazhab Maliki, misalnya. Mazhab yang berafiliasi pada Imam Malik bin Anas tersebut menilai, hukumnya makruh membaca basmalah ketika shalat secara mutlak.

Baik sebelum pembacaan surah al-Fatihah atau surah berikutnya. Dan apa pun cara pembacaannya, secara pelan atau keras, hukumnya makruh.

Hanya saja, Imam Qarafi dari Mazhab Maliki lebih memilih membuat pernyataan yang berbeda dari kebanyakan imam di mazhabnya tersebut.

Ia menyatakan, sebagai bentuk kehati-hatian dan keluar dari perbedaan, maka tetap membaca basmalah. Cukup pelan saja, tidak perlu keras.      

Hormati perbedaan

Setelah memaparkan perbedaan pendapat ulama terkait bacaan basmalah harus pelan atau keraskah, Lembaga Fatwa  (Dar al-Ifta) Mesir menyerukan segenap umat agar saling menghargai dan tidak menjadikan masalah di atas sebagai sumber fitnah dan pertikaian.

Ini penting. Karena, bagaimanapun, urai lembaga yang pernah dipimpin oleh mufti agung Syekh Ali Jum'ah itu, masalah keras atau pelan bacaan basmalah tergolong khilafiyah.

Tidak perlu menyalahkan perkara yang diperselisihkan. Silakan membaca basmalah secara keras atau pelan. Kedua-duanya tetap baik.

Penulis kitab al-Qaul al-Mubin fi Akhtha' al-Mushallin, Syekh Masyhur Hasan, dengan tegas mengkritik sebagian imam shalat atau kelompok yang berkukuh membaca basmalah dengan pelan dan menolak sama sekali mengeraskan bacaan basmalah tersebut.

Di sisi yang lain, ia mengkritik pula jamaah yang enggan shalat di belakang imam yang membaca basmalah secara keras. “Padahal, hal ini tak perlu terjadi bila mereka paham fikih,” ungkapnya.

***

Bacaan Basmalah Saat Shalat

Keras: Ammar bin Yasir, Ubai bin Ka'ab, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas dan Mazhab Syafii

Pelan : Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Afan, dan Ali bin Abi Thalib. Ini juga pilihan Mazhab Ahmad dan Hanafi serta Ibnu Taimiyah.

Fleksibel : Ishaq bin Rahawaih. Ibn Hazm, Qadi Abu at-Thayyib dan Ibn Abu Ya'la.

Makruh: Mazhab Maliki yang populer.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement