REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) Yogyakarta menyiapkan kajian akademik rancangan peraturan daerah (raperda) pelayanan publik.
Namun, pengesahan raperda pelayanan publik terancam molor karena masuk dalam program legislasi daerah (prolegda) 2014. Sementara, 2014 merupakan tahun pemilihan umum penggantian anggota legislatif.
Menurut Kepala Kelompok Kerja Penelitian dan Pengembangan LOD, Eko Agus Wibisono, kualitas pelayanan publik di DIY masih timpang antara Kota Yogyakarta dengan kabupaten lainnya.
Hal ini karena hanya Pemerintah Kota Yogyakarta yang memiliki perda pelayanan publik. Sementara, Pemerintah Provinsi Yogyakarta dan empat kabupaten lain belum memiliki standard dalam pelayanan publik.
"Perda pelayanan publik akan menghilangkan diskriminasi layanan di kota dan kabupaten," ujarnya dalam diskusi di kantor LOD DIY, Selasa (26/11).
Dengan adanya standar, pelayanan publik di Kota Yogyakarta dinilai membaik. Hal itu terbukti dengan Dinas perizinan Kota Yogyakarta yang telah melayani 67 jenis perizinan sejak 2005. Kota Yogyakarta juga memiliki maklumat pelayanan untuk melayani akte kelahiran, KTP, dan layanan kesehatan.
Ketimpangan layanan publik di Kota Yogyakarta dan kabupaten lain mendesak kebutuhan raperda di tingkat pemerintah provinsi. Dalam naskah akademik dari LOD telah disiapkan kajian teori dan konsep pelayanan publik.
Lembaga yang mengawasi pelaksanaan layanan publik tersebut juga menyiapkan jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi Perda.
Dalam materi pengaturan pelayanan publik, LOD mengusulkan adanya standard dan maklumat layanan. Pelayanan di Yogyakarta juga diusulkan berbasis budaya serta teknologi. Sistem pelayanan publik tersebut disertai dengan mekanisme pengawasan dan pengaduan.
Eko mengatakan LOD telah memasukkan kajian akademis tersebut ke DPRD Provinsi Yogyakarta untuk melengkapi proses pembuatan perda pelayanan publik.
Sayangnya, pengesahan raperda pelayanan publik terancam molor. Eko mengatakan pihaknya mendesak pengesahan raperda pelayanan publik dapat disahkan sebelum April 2014. "Kami sangat menyayangkan raperda masuk prolegda 2014 karena hanya bisa dibahas sampai April," ujarnya.
Meski membantah raperda tersebut akan diabaikan, Eko mengaku rancangan peraturan akan kehilangan momentum. Pembahasan raperda pasca April 2014 akan tergantung komitmen dari anggota dewan. "Momentum pembahasan raperda menjadi kritis," ujarnya.
Dosen Ilmu Pemerintahan Fisipol UMY, David Efendi menambahkan modal sosial perlu masuk dalam raperda pelayanan publik. Modal sosial tersebut seperti tradisi dan kearifan lokal. "Bagaimana modal sosial itu bisa diinfiltrasikan dalam perda menjadi sesuatu yang terukur," ujarnya.
Menurut David, undang-undang keistimewaan DIY membuat tantangan untuk memberi keistimewaan dalam layanan publik. Akan tetapi, kebijakan penganggaran di DIY dinilai masih memprihatinkan.
Hal itu seperti anggaran pengentasan kemiskinan pada 2013 hanya Rp100.147 per orang per tahun. Sementara anggaran pendidikan dan kesehatan masing-masing Rp108 ribu dan Rp5.807 per orang per tahun.