Rabu 27 Nov 2013 16:31 WIB

BI Rekomendasikan Reformasi Lanjutan di Bidang Energi

Rep: Satya Festiani/ Red: Nidia Zuraya
Seorang petugas melakukan pengecekan sumur bor produksi KMJ 56 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang, Garut, Jawa Barat.
Foto: Antara/Wahyu Putro
Seorang petugas melakukan pengecekan sumur bor produksi KMJ 56 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang, Garut, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Defisit transaksi berjalan masih menjadi masalah perekonomian di Indonesia. Ekspor dari tanah air sedang lesu karena harga komoditas yang menurun. Di sisi lain, impor meningkat karena permintaan yang terus naik terutama untuk bahan bakar minyak (BBM).

Bank Indonesia (BI) merekomendasikan pemerintah untuk melakukan reformasi lanjutan di bidang energi. Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan untuk mendorong ekspor, komoditas harus diberi nilai tambah yang tinggi. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan kemudahan dan fasilitas kepada perusahaan yang mengembangkan sumber daya alam sehingga memiliki nilai tambah yang tinggi.

"Dalam pandangan kami, Indonesia bisa terus mengembangkan industri sumber daya alam, namun kemudahan-kemudahan dan fasilitas bisa dipertimbangkan untuk mengembangkan industri pemrosesan sumber daya alam dengan nilai tambah yang tinggi," ujar Agus dalam Kompas CEO Forum, Rabu (27/11).

Sementara itu, untuk menekan tingginya impor, terutama impor BBM, BI mendesak pemerintah untuk melakukan reformasi energi dan menggenjot investasi pada bidang minyak dan gas (migas) yang berorientasi domestik dan ekspor serta menggalakkan penggunaan energi alternatif dan terbarukan. Salah satu penyebab tingginya impor BBM adalah kurangnya produksi dalam negeri. Oleh karena itu, produksi dalam negeri harus digenjot.

Meningkatnya konsumsi BBM juga sejalan dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Sekitar 20 persen dari total impor merupakan impor barang-barang yang berkaitan dengan BBM dan kendaraan bermotor. Agus mengatakan pemerintah perlu mengambil inisiatif berupa peningkatan pajak progresif kendaraan bermotor, kewajiban penggunaan kendaraan bermotor untuk asuransi, dan pengetatan emisi gas untuk kendaraan bermotor.

BI juga menyatakan defisit transaksi berjalan idealnya berada di posisi 0,25-2,5 persen. Agus mengatakan BI tidak berambisi untuk meraih surplus pada transaksi berjalan karena dapat menyebabkan ekonomi menjadi hard landing.

"Kita perlu memberikan ruang defisit. Namun perlu diarahkan ke level yang sustainable," ujar dia. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengendalikan impor yang tidak prioritas.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement