REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan menyesalkan pernyataan Menkes Nafsiah Mboi terkait kandungan babi dalam obat-obatan. Nafsiah menyebut dalam proses pembuatan obat ada unsur babi.
Amidhan menyebut dalam paradigma Fiqih, ada yang disebut istihalah. Yaitu sesuatu yang haram setelah diproses berubah bentuk menjadi halal karena unsur haramnya tidak terdeteksi. "Berdasarkan kaidah ushuliah di atas, MUI menolak perubahan bentuk istihalah tersebut," ujar Amidhan salam siaran tertulis yang diterima Republika, Senin (9/12).
Dalam Islam, katanya, hukum obat dan vaksin sama dengan hukum mengonsumsi produk pangan, yakni harus halal. Terlebih memperoleh produk halal bagi setiap Muslim adalah hak konstitusional. "Pemerintah harusnya memfasilitasi masyarakat dalam menjalankan syariat agamanya."
Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim menyayangkan pernyataan menkes. Karena sebagai pejabat publik seharusnya tidak secara terbuka menolak sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. "Penolakan sertifikasi halal atas produk obat-obatan akan semakin menjauhkan upaya umat Islam dalam memperoleh obat yang halal," kata Lukman.
Lukmanul menambahkan, selama ini LPPOM MUI berusaha mendorong kalangan farmasi dan produsen agar meningkatkan kepedulian mereka terhadap obat-obatan halal.
Dari 30 ribu item obat yang diproduksi sekitar 206 perusahaan di Indonesia, yang telah bersertifikat halal jumlahnya masih sangat sedikit. Rinciannya, di kelompok obat-obatan, perusahaan yang telah bersertifikat halal hanya ada lima perusahaan dengan item produk sebanyak 22 produk.
Di kelompok jamu ada 14 perusahaan yang telah memiliki sertifikat halal dengan item produk sebanyak 100-an produk. Sedangkan pada kelompok suplemen, ada 13 perusahaan yang telah mengantongi sertifikat halal dengan item produk sekitar 50 produk.
Angka-angka tersebut masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk muslim yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa.