Senin 30 Dec 2013 09:33 WIB

Kita Menyatu Dalam Shalat

Umat Islam tengah melaksanakan shalat
Foto: Youtube
Umat Islam tengah melaksanakan shalat

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh DR M Masri Muadz MSc

(Penulis buku Paradigma Al-Fatihah)

Dalam konteks makro, keseluruhan sistem kehidupan, terdiri dari tiga komponen sistem: sistem Alquran, sistem sosial (manusia) dan sistem  semesta (alam). Memahami kehidupan, sebagai keseluruhan sistem harus dilihat dari segi pola, substansi, proses dan makna (Capra, 2004).

Sebagai pola, tiga komponen sistem kehidupan ini, telah diciptakan Allah dengan peranan yang jelas dan hubungan yang harmonis antar ketiganya. Manusia sebagai khalifah, bumi sebagai pendukung kekhalifahan dan Al-Quran sebagai pedoman kekhalifahan manusia (silakan baca hikmah: Alquran, Manusia dan Alam).

Sebagai substansi, ketiga komponen sistem kehidupan ini, telah diciptakan Allah dengan konsistensi substansi dengan struktur angka 7. Alam: 7 lapis bumi dan langit, manusia: 7 anggota badan dan Alquran: 7 ayat Al-Fatihah (silakan baca hikmah: Sandi Pesan Tauhid Angka 7).

Sebagai proses, ternyata tiga komponen sistem kehidupan ini semuanya berintegrasi dan menyatu dalam proses. Yaitu kesatuan 3 komponen sistem kehidupan ini dalam proses shalat untuk menyembah Allah SWT. Cobalah kita perhatikan dengan seksama temuan-temuan ilmiah berikut ini.

Pertama, kehidupan alam semesta pada tingkat makro, seperti matahari, bulan, bumi, dan jutaan planet angkasa lainnya, seperti sudah menjadi pengetahuan umum, keberadaannya adalah dalam wujud gerak berputar terus menerus. Istilah ilmiah dari proses gerak berputar alam semesta ini,  disebut orbital velocity (Wikipedia).

Kehidupan alam tingkat mikro adalah quanta dan cell.Saat ini kehidupan quanta sudah diketemukan sebagai materi atau energi yang keberadaannya, juga, terus berputar. Oleh para ahli fisika kuantum gerak berputar quanta disebut Nonlocality   (Assaraf, 2008). Juga alam pada tingkat cell, keberadaannya diketahui dalam wujud gerak berputar terus menerus. Yang oleh para ahli disebut dissipative structure (Capra, 2004).

Kedua, manusia menegakan shalatnya, juga, dalam gerakan berputar. Yaitu gerak takbiratul ihram, ruku’ dan sujud. Keseluruhan gerak berputar  ini, sama dengan alam, berputar sebanyak 360 derajat.

Yaitu gerak takbiratulihram adalah posisi 0 derajat; posisi ruku’  90 derajat; posisi sujud pertama 135 derajat; dan posisi sujud kedua 135 derajat. Sehingga untuk setiap satu rakaat shalat menjadi: 90 derajat + 2 x 135 derajat = 360 derajat. Dan ritme gerakan shalat yang khusyu oleh para ahli fikh disebut tuma’ninah.

Ketiga, Al-Quran yang diwakili oleh Al-Fatihah, juga dalam gerak terus berputar. Karena Al-Fatihah berada dalam arus gerak berputarnya manusia dalam shalat. Sebagai satu-satunya surah  Alquran yang harus dibaca untuk syahnya shalat. Dan nada membaca Al-Fatihah dalam shalat yang khusyu, menurut fikh adalah bacaan secara tartila.

Maka, sungguh,  realitas obyektif seluruh sistem kehidupan (Alquran, manusia dan alam) adalah proses gerak berputar dalam shalat untuk berdzikir, bersujud, dan bertashbih kehadhirat Allah SWT. Dan kesimpulan ilmiah inilah kiranya, yang dipertegas oleh firman Allah berikut ini:

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” [QS Al-Isra’ (17):44].

Maka, apa hikmah yang dapat dipetik dari dari kesimpulan pemahaman sistemik tentang kehidupan ini? Bahwa realitas obyektif dari seluruh sistem kehidupan adalah proses gerak berputar dalam shalat, seperti yang kita pahami ini?

Pertama, tatkala kita menegakan shalat, itu berarti kita tidak saja sedang berdzikir dan berdoa kepada Allah, tapi juga sedang menyatu dengan Al-Quran dan alam semesta. Yang pada saat yang sama, juga, sedang bertashbih dan bersujud kepada AllahSWT. Di mana integrasi sistemik adalah keniscayaan untuk tercapainya harmoni keseluruhan sistem kehidupan.

Kedua, sebaliknya, bila kita tidak atau jarang menegakan shalat, maka itu berarti tidak saja melanggar perintah Allah, tapi juga berarti dengan arogan, kita melakukan disintegrasi dengan gelombang dahsyat proses bersujud dan bertashbihnya seluruh sistem kehidupan, seperti dimaksud oleh QS Al-Isra’ (17):44. Di mana disintegrasi sistemik pasti berujung pada kehancuran sistem kehidupan.

Seperti kita pahami di depan, triliunan cell yang terdapat dalam tubuh kita, dan milyaran planet jagat raya di luar sana, tidak pernah berhenti berputar, untuk bertashbih dan bersujud kepada Allah SWT.

Namun sebaliknya,  bila kita sebagai pribadi Muslim yang dipercayakan sebagai khalifah-Nya di bumi, tidak menegakan shalat seperti diwajibkan, maka apakah itu bukan bukti dari arogansi kita? Dan bukan tanda bahwa kita tidak merasa malu terhadap diri, sesama, dan terhadap alam semesta? Dan terlebih kepada Allah yang telah menciptakan dan menghidupkan kita?

Maka, marilah kita tegakan shalat, tidak semata karena kewajiban, tapi terlebih karena kebutuhan. Kebutuhan untuk berdzikir dan bersyukur serta beribadah dan berdoa kepada Allah SWT. Dan kebutuhan untuk berintegrasi dan menjalin hubungan harmonis dengan Alquran dan alam semesta.

Di mana terpenuhinya dua kebutuhan ini adalah syarat untuk tercapainya kebenaran, kebaikan dan keindahan dalam hidup kita, di dunia dan akhirat... Semoga.

Allahu ‘alamu bishshawab.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement