REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah kemeriahan pergantian tahun 2014, semalam terjadi penangkapan disertai dengan baku tembak antara Polri dengan kawanan terduga Teroris di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan. Dan pagi ini, media massa menyebut empat terduga teroris tewas diterjang peluru panas Densus 88 Antiteror.
Peristiwa penangkapan pelaku teroris di Ciputat dan berakhir dengan baku tembak mengingatkan kita bahwa Indonesia hari ini masih menyisakan ancaman terror. Baik terror ekstrimisme keagamaan dan terror pada kebebasan beragama. Sementara itu, tahun 2014 disebut sebagai tahun politik. Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden akan dihelat di tahun ini.
" Ini menjadi sebuah ancaman terror di tahun politik, " ujar Direktur Riset MAARIF Institute, Ahmad Fuad Fanani dalam siaran persnya kepada ROL, Rabu (1/1)
Menyikapi hal itu, Maarif Institute menekankan pada semua pihak agar tetap waspada dan tidak memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan sesaat. “Negara harus memberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi setiap warga negaranya.”
Dalam kasus teror ekstrimisme keagamaan, Fuad mengingatkan bahwa Banten masih menjadi salah satu spot berjejaringnya kelompok teroris di Indonesia. Aksi penyergapan terduga teroris di Tangerang Selatan adalah salah satu buktinya. Meski demikian, Fuad juga menyayangkan hasil penyergapan itu. “Tewasnya terduga teroris itu justru menutup mekanisme pembuktian hukum dan penelusuran jejak jaringan teroris di tempat lain” ungkapnya.
Ancaman terror lain juga terjadi pada kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ancaman pada isu ini begitu serius dirasakan. Bahkan sebelum malam pergantian tahun, public juga mendengar bahwa kekerasan atas nama agama terjadi pada Gereja Pantekosta Rancaekek, Sumedang. “Teror pada kebebasan beragama masih terus terjadi, Negara tak boleh diam. Ini PR besar bagi kepemimpinan mendatang.” kata Direktur Program Islam for Justice Maarif Institute , Muhd. Abdullah Darraz.
Untuk itu, tahun 2014 harus menjadi momen untuk menuntaskan pekerjaan besar itu. Pemilu 2014 adalah mekanisme demokrasi untuk memperbaiki Indonesia. “Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang kuat, yang memiliki komitmen pada upaya merawat kebhinnekaan. Indonesia butuh pemimpin yang tegas dan tidak ragu menghadapi kelompok-kelompok yang anti-perbedaan, yang menggunakan kekerasan sebagai bahasa politiknya,” kata Abdullah Darraz.