Rabu 15 Jan 2014 20:14 WIB

Pengamat: Kenaikan Gaji Direksi BPJS Tak Rasional

Petugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menerangkan kepada warga cara mendapatkan kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saat peluncuran JKN di RS Fatmawati, Jakarta, Rabu (1/1). Kartu JKN merupakan perlindungan kesehatan agar peserta memeroleh m
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Petugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menerangkan kepada warga cara mendapatkan kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saat peluncuran JKN di RS Fatmawati, Jakarta, Rabu (1/1). Kartu JKN merupakan perlindungan kesehatan agar peserta memeroleh m

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat BUMN, Said Didu, angkat bicara tentang kabar rencana kenaikan gaji para direksi BPJS. Hanya, Said menilai jika usulan gaji berkali-kali lipat tidak rasional.

Sebab, dari sisi jumlah kelolaan pun masih kalah dengan perusahaan lain, seperti Pertamina dan Bank Mandiri. Hingga akhir tahun lalu Jamsostek memiliki dana kelolaan Rp 143,62 triliun.

"Saya juga dengar kabar itu. Usul kenaikan itu jelas tidak rasional," kata Said dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (15/1).

PT Jamsostek (Persero) per 1 Januari 2014 berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Pada tahun pertama, direksi akan menaikkan gaji karyawan sebesar 25 persen.

Kabarnya, tidak hanya karyawan yang bakal naik gaji, tetapi Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan dan direksi juga akan naik. Kabar yang beredar, dirut akan mendapatkan kenaikan gaji beberapa kali lipat, dari Rp 120 juta diusulkan menjadi Rp 530 juta.

Said membandingkan gaji dirut Pertamina sebesar Rp 230 juta dengan total aset Rp 700 triliun lebih, atau Bank Mandiri yang dirutnya digaji Rp 150 jutaan dengan aset ratusan triliun.

"Sementara BPJS Ketenagakerjaan, uang datang sendiri karena perintah undang-undang, sehingga pekerja, perusahaan, membayar iuran," ucapnya.

Ia juga mengingatkan dari sisi kewenangan, BPJS juga sangat 'power full' karena bisa menunjuk rumah sakit rujukan dan obat. Artinya, ia menilai usul kenaikan gaji besar tidak tepat dan dinilai tidak sensitif.

"Jadi usul kenaikan gaji tidak rasional, karena dari sisi risiko jabatan juga minim. Apalagi uang yang dikelola uang pekerja uang rakyat," katanya menjelaskan.

Sekadar perbandingan, gaji Gubernur Bank Indonesia sebulan Rp 199,34 juta dengan tanggung jawab mengawasi aset perbankan yang mendekati Rp 5.000 triliun. Sementara BPJS Ketenagakerjaan 'hanya' mengelola dana kelolaan Rp 150 triliun.

Sedangkan presiden digaji Rp 62 juta per bulan dengan dana operasional atau taktis Rp 2 miliar per bulan.

Pemerintah sudah mengesahkan aturan tentang mekanisme pemberian upah kepada anggota dewan pengawas dan anggota direksi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2013. Formula upah untuk Direktur Utama BPJS adalah Upah Dasar dikalikan Faktor Penyesuaian Inflasi  dan faktor jabatan. Upah anggota Direksi ditetapkan sebesar 90 persen dari upah dirut.

Lalu, upah Ketua Dewan Pengawas ditetapkan sebesar 60 persen dari upah dirut dan upah anggota Dewan Pengawas sebesar 54 persen dari upah Direktur Utama.

Selain upah, anggota direksi dan dewan pengawas BPJS juga menerima tunjangan dalam bentuk tunjangan hari raya, santunan purna jabatan, tunjangan cuti tahunan, tunjangan asuransi sosial, dan tunjangan perumahan. Mereka juga diberikan fasilitas pendukung pelaksanaan tugas seperti kendaraan dinas, kesehatan, pendampingan hukum, olahraga, pakaian dinas, biaya representasi, dan biaya pengembangan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement