REPUBLIKA.CO.ID, KABANJAHE -- Pemerintah merencanakan untuk merelokasi warga yang tinggal di lereng Gunung Sinabung. Pemerintah juga telah menyiapkan lahan seluas 8 ribu hektaree.
Tanggapan dari pengungsi yang merupakan warga desa di lereng Gunung Sinabung pun beragam. Salah satunya Natalia Sitepu (45 tahun), pengungsi dari Desa Sukanalu, Kecamatan Namanteran.
Natalia menolak rencana tersebut karena ia enggan meninggalkan tanah kelahirannya itu. Ia memiliki rumah dan ladang seluas 2 hektare yang ditanami kopi. Ladang itu telah menghidupi dirinya dan keluarganya selama ini.
Ia juga mempertanyakan daerah relokasi yang disiapkan pemerintah apakah masih di sekitar Gunung Sinabung, apa masih di Tanah Karo atau direlokasi ke luar daerah. Jika di luar daerah Gunung Sinabung, ia akan menolaknya dengan tegas.
"Bagaimana ya, masa' kita hidup di kampung orang? Tidak apalah kita hidup di Gunung Sinabung, karena tanah kita sendiri," kata Natalia.
Senada dikatakan Jonathan (31 tahun) yang juga menolak rencana untuk relokasi. Ia berdalih pemerintah belum menjelaskan kepastian rencana untuk menjamin kehidupan para pengungsi, terutama soal mata pencahariannya.
"Jadi apa relokasi itu mengganti juga lahan kami atau hanya mengganti rumah saja, belum jelas. Kalau hanya mengganti rumah saja, kami mau makan apa," ujar Jonathan.
Pendapat berbeda diucapkan Hendra, pengungsi asal Desa Bakerah, Kecamatan Namanteran. Hendra sudah pasrah dengan kebijakan pemerintah terhadap para pengungsi.
Apalagi desanya termasuk salah satu dari tiga desa yang paling dekat dengan Gunung Sinabung. Sehingga desanya juga mengalami kerusakan cukup parah dari akibat awan panas dan hujan debu yang dimuntahkan Gunung Sinabung.
"Kalau memang ada lahan yang sudah disediakan untuk para pengungsi, kami tidak ada pilihan lagi," ucapnya pasrah.