REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Sebelum meletusnya revolusi Mesir di masa kepemimpinan Presiden Husni Mubarak, Negeri Piramida itu merupakan salah satu sahabat dan sekutu vital Amerika Serikat (AS) di kawasan Timur-Tengah.
Sementara negara-negara sekutu AS lainnya di Timur Tengah adalah Saudi Arabia, Israel, Kuwait, Uni Emirat Arab dan Qatar.
Namun pascarevolusi Mesir, dengan tergulingnya Presiden Husni Mubarak, Mesir mulai berubah haluan. Hal ini terjadi ketika Presiden Muhammad Mursi dari partai "Al-Hurriyah wa Al-Adalah," salah satu faksi Ikhwanul Muslimin (IM), naik ke tmpuk kekuasan dan menjadi Presiden Mesir Pertama pasca revolusi.
Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia (UI), Abdul Muta'ali, menyatakan, Presiden Mursi berusaha melepaskan Mesir dari ketergantungan terhadap AS dan perjanjian damai dengan Israel.
"Awalnya Mesir bermakmum kepada Negeri 'Paman Sam', AS. Namun, setelah Mursi dengan Ikhwannya berada dalam tampuk kekuasaan, Mesir mencoba bereksperimen dengan tidak bermakmum kepada siapapun," ujar Abdul Muta'ali saat dihubungi, Jumat (31/1).
Artinya, lanjut penulis buku 'Membangun Negara Kuat, Kontribusi Islam Terhadap Pemikiran Politik Barat itu,' Mesir mencoba menjadi 'Imam' di negerinya sendiri, bahkan di kawasan Timur Tengah.
Namun, tutur Abdul Muta'ali, kepemimpinan Presiden Muhammad Mursi rupanya tidak diamini oleh makmum-makmum lainnya di Mesir. Bahkan makmum-makmum itu berupaya menjadi Imam dengan cara-cara yang tidak lazim.
Dalam peta politik internasional, tutur pakar timur tengah UI ini, Mesir merupakan episentrum problematika konflik Timur Tengah, bahkan 'main gate' solusinya.
Awetnya kisruh politik dan kemanusiaan yang terjadi di 'Negeri Fir'aun' ini, tuturnya, terjadi karena kuatnya unsur militer, IM dan sekuler serta dipicu kasus penyangga lainnya seperti Palestina-Israel.
Penyebab lainnya, tutur alumni program doktoral dari Universitas di Sudan itu, IM juga diwacanakan dunia internasional sebagai 'public enemy.' Parahnya, wacana itu banyak diamini negara-negara tetangga Mesir sendiri dan gerakan Islam lainnya.
"Variabel seperti ini tidak dimiliki oleh negara-negara Arab lainnya walaupun mereka terimbas revolusi atau 'Arab Spring.' Buktinya, pascarevolusi, Tunisia, Libya, dan Bahrain berangsur baik," jelas dosen Departemen Sastra Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI itu.
Hal berbeda dialami Suriah yang hingga kini masih menglami konflik berdarah antara kelompok oposisi dengan pemerintah Presiden Bashar Al-Assad. "Pasalnya, secara ideologis, Suriah telah mengambil sikap sebagai adik kelas Iran yang bermakmum kepada Rusia," kata Abdul Muta'ali menegaskan.