Ahad 09 Feb 2014 13:03 WIB

Pemimpin yang Amanah (1)

Menjadi pemimpin yang amanah/ilustrasi
Foto: IST
Menjadi pemimpin yang amanah/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Apakah kita membutuhkan pemimpin yang cerdas dan berpendidikan tinggi? Atau, pemimpin yang “biasa-biasa saja”, tapi mempunyai “keunikan” tersendiri yang berkait dengan akhlak, seperti mempunyai sikap amanah yang tinggi? Sepertinya, tidak bisa sekadar menjadi bak soal ujian yang tinggal pilih dengan mencontreng a, b, atau c. 

Soal kriteria pemimpin belakangan mencuat kembali. Tampaknya ini didasari oleh kepedulian, kegelisahan, dan harapan terhadap kepemimpinan di negeri kita ke depan. Menarik, misalnya pernyataan mantan panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin bangsa yang amanah. 

Ukuran kepemimpinan seolah bersifat dinamis, selaras kebutuhan. Sebelumnya, sudah ada penelitian bahwa pemimpin yang didambakan rakyat di tahun 2014 nanti adalah sosok yang amanah dan tegas. Mungkin kita gampang menebak, mengapa ada euforia terhadap kepemimpinan yang amanah. 

Saat ini, negeri kita tengah belepotan dengan berbagai masalah kronis, utamanya penyimpangan moral dan kekuasaan. Korupsi masih terus merajalela. Inilah yang kemudian menjadikan rakyat tidak mendapatkan keteladanan yang baik dari para elite. 

Begitu mudahnya terjadi tawuran, bentrokan, dan kerusuhan dalam berbagai bentuk di kalangan masyarakat. Seakan-akan bangsa kita sekarang ini hidup “bagai api dalam sekam”, mudah tersulut amarah. Fakta-fakta inilah yang oleh banyak amatan diakibatkan juga adanya krisis keteladanan dari para petinggi kita.

Tak sangkal, kebutuhan terhadap kepemimpinan yang mumpuni bersifat krusial. Ukurannya bisa kontekstual, tetapi bila dicermati, sebenarnya bersifat perenial. Maksudnya, kriteria pemimpin sesungguhnya merupakan sesuatu yang innate ideas, yaitu harapan fitrah dari eksistensi manusia. 

Ya, sejak dini manusia sudah memiliki “kecondongan” yang sifatnya fitri terhadap sosok pemimpin yang hendak diwujudkan. Soal kemudian ada keinginan yang kondisional, hal ini dapat saja terkait dengan situasi sosiologis yang melingkupi masyarakat. Menyitir ungkapan Ibnu Khaldun, adanya organisasi masyarakat menjadi hal yang niscaya bagi kehidupan manusia. 

sumber : Said Aqil Siroj
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement