REPUBLIKA.CO.ID, Permasalahan keutamaan meninggal di hari Jumat adalah termasuk permasalahan gaib yang oleh agama Islam hanya dibolehkan percaya pada argumentasi yang bersandarkan pada dalil-dalil yang datang dari Alquran dan as-Sunnah.
Dalam hal yang termasuk perkara gaib, kita tidak diperkenankan untuk membuat cerita atau meyakini sesuatu kecuali berdasarkan keterangan langsung dari nash Alquran maupun as-Sunnah.
Tidak ada ruang bagi kita untuk melakukan analogi dan menggunakan akal untuk mengetahui permasalahan-permasalahan gaib.
Allah SWT telah berfirman, “Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat? Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS al-An’am (6): 50)
Nabi Muhammad saw juga telah bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan berasal darinya maka ia tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak berdasar pada urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak.” (HR Muslim)
Mengenai keutamaan meninggal pada hari Jumat, terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi. Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang Muslim meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat kecuali Allah akan melindunginya dari adzab kubur.” (Sunan at-Tirmidzi/vol. III/hadis ke 1074)
Para ulama hadis berbeda pendapat tentang status hadis ini. Imam at-Tirmidzi (w. 360 H) sendiri yang meriwayatkan hadis ini dalam kitab Sunan at-Tirmidzi menilainya sebagai hadis gharib (karena diriwayatkan oleh satu orang saja) dan munqathi karena sanadnya tidak bersambung (laisa bi muttashil).
Menurutnya, tokoh yang bernama Rabiah bin Saif (w. 120 H) dari generasi tabiut tabiin yang meriwayatkan hadis ini tidak pernah bertemu dengan sahabat Nabi Abdullah bin Amr bin Ash (w. 63 H), sehingga ada satu perawi dari tingkatan tabiin yang hilang.
Status gharib yang diberikan oleh at-Tirmidzi ini kemudian diteruskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) seorang ulama hadis yang wafat di Mesir dengan label dhaif dalam kitabnya Fathul-Bari (vol. IV/hal. 467).
Mengenai status munqathi (terputus perawi dari kalangan tabiin) pada hadis ini, berdasarkan penelitian kami ditemukan bahwa sesungguhnya Imam at-Tirmidzi dalam kitabnya yang lain, Nawadir al-Ushul (sebuah kitab hadis yang mengkompilasi hadis-hadis dhaif), meriwayatkan hadis ini secara muttashil (bersambung).