Oleh: Nashih Nashrullah
Di sisi lain, Albani dianggap terlampau ekstrem menjatuhkan vonis lemah atas sejumlah hadis.
Misalnya saja, Albani dinyatakan ekstrem menolak sama sekali riwayat perawi yang divonis manipulatif terhadap riwayat tadlis atau riwayat yang terputus (munqathi’) sekalipun, padahal ternyata ada indikator penguat hadis tersebut yang tidak terungkap di mata Albani.
Sehingga, deretan indikator itu pun oleh para ulama sebelumnya dijadikan acuan untuk menoleransi riwayat-riwayat bermasalah tadi. Contohnya, riwayat Sa’id dari Umar atau riwayat Abu Ubaidah dari ayahnya.
Tetapi dalam konteks ini, Syekh ath-Tharifi menganggap apa yang dilakukan oleh Albani tak lebih dari ijtihad, yang berpotensi benar atau salah. “Jadi, ia tidak berbuat bid’ah,” katanya.
Sementara itu, berbeda dengan komentar cendekiawan di atas, Syekh Abdullah al-Harawi bersikap keras menyikapi “sepak terjang” Albani. Bahkan, lewat karyanya yang bertajuk Al-Harawi mengkritik keras rekam jejak Albani dengan bahasa kesesatan-kesesatan Albani.
Al-Harawi menyebut tokoh yang berprofesi sebagai tukang jam itu tidak berkompeten dan memiliki riwayat belajar hadis yang kuat. Malah, menurut al-Harawi, tak satu pun hadis berikut sanad lengkap hingga perawi tertinggi yang dihafal oleh Albani.
Apalagi kajian hadis Albani diperoleh bukan melalui proses talaqqi atau berguru kepada ahli hadis, melainkan otodidak dengan membaca di perpustakaan. Ia pun menyebutkan beberapa kekeliruan dan kesimpulan prematur Albani dalam kajian hadis. Contohnya, pendapat Albani yang menafikan shalat sunah sebelum (Qabliyah) shalat Jumat. “Tidak ada rujukannya dalam sunah Rasulullah SAW,” ujar Albani.
Albani menjatuhkan vonis lemah atas deretan hadis terkait hal itu. Padahal, kata al-Harawi, masih banyak riwayat yang saling menguatkan. Ibnu Hajar misalnya, menyebutkan di Talkhis al-Habir riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah tentang shalat Qabliyah Jumat. Hadis tersebut merupakan satu di antara hadis dengan kualitas kesahihan yang paling kuat. Ini juga ditegaskan oleh al-Hafizh Waliyuddin al-Iraqi.
Al-Harawi pun menegaskan, kesepakatan ulama perihal larangan menilai lemah hadis bagi ulama masa kini. Menukil pernyataan Ibnu Hajar al-Asqalani karena bisa jadi ada kemungkinan keberadaan jalur jejaring periwayatan lain yang menguatkan atau bahkan akurat validitasnya. Bila sang perawi menemukan adanya keterputusan jejaring itu, cukuplah ia menyimpulkan bahwa jejaring tersebut tidak sempurna melalui jalur yang ia temukan.
Bukan lemah secara keseluruhan, termasuk redaksionalnya (matan). Sebab, bisa jadi hadis dengan riwayat lain yang menopangnya. Karena itu, hendaknya ulama masa kini tidak gegabah melemahkan suatu hadis.
Demikian pula, dengan vonis palsu atas hadis tertentu. Imam as-Suyuthi menegaskan bila ulama sepakat larangan memvonis lemah suatu hadis oleh ulama masa kini apalagi menyimpulkannya dengan palsu. Bagaimanapun, kemungkinan adanya jalur periwayatan lain yang menguatkan sangat terbuka.
Kecuali, jika memang tanda-tanda ataupun kriteria hadis palsu sudah tampak jelas, ketidaksinkronan redaksi hadis semisal hadis-hadis yang dipalsukan oleh para pendongeng, ataupun kontradiktif dengan akal dan konsensus ulama.