REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maraknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim dilatarbelakangi buruknya sistem rekrutmen dan pengangkatan karir hakim. Perlu ada pembaharuan pola yang melibatkan pendidikan moral mereka.
Pengamat Hukum Universitas Airlangga, Emanuel Sudjatmiko mengatakan, memang banyak penyebab hakim melakukan pelanggaran etik. Kalau dalam persidangan, pola pikir pihak berperkara adalah memenangkan sengketa sehingga hakim dianggap dapat dipengaruhi, dan punya daya jual.
"Sedangkan di luar persidangan, mereka umumnya melakukan pelanggaran moral. Makanya pola rekrutmen jangan hanya pikirkan soal subtansi, tapi juga pendidikan moral mereka," kata Emanuel saat dihubungi Republika, Senin (24/2).
Pihaknya mendukung upaya Komisi Yudisial (KY) yang hendak melibatkan perguruan tinggi dalam melakukan pendidikan serta latihan para hakim. Menurut dia, setelah rekrutmen pun, para hakim harus lebih diperhatikan, karena masalah di lapangan berpotensi mempengaruhi mereka.
Dengan adanya pendidikan tersebut, mereka dibentengi nilai yang menjadi rambu prilakunya. Selain itu, MA serta KY juga harus memperhatikan pola pengangkatan karir hakim. Mereka umumnya masih konvensional melalui "jalur belakang" (bermain uang).
"Harusnya KY membuat regulasi pengangkatan hakim, untuk meningkatkan karirnya, mereka dipacu membuat putusan yang baik. Dan harus diawasi juga pola permainan uang di dalam tingkatan-tingkatan itu," ujar dia.