Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Demikian pula dalam ayat, “Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (QS al- ’Ankabuut [29]: 5).
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada- Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada- Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS al-Baqarah [2]: 186).
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” (QS Qaaf [50]: 16).
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.” (QS al- Hadiid [57]: 4).
“Kemudian, Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah [2]: 37).
Wujud perjumpaan dengan Tuhan sangat personal. Setiap orang mempunyai pengalaman spiritual masing-masing. Diantara pengalaman para sufi dalam berjumpa dengan Tuhannya, dikenal beberapa konsep sebagai berikut.
Pertama, al-hulul yang diperkenalkan oleh Ibn Mansur al- Hallaj, yaitu Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifatsifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Sifat-sifat kemanusiaan dapat dilenyapkan dengan upaya pembersihan diri secara bertahap atau saksama.
Jika sifat-sifat kemanusiaan sudah hilang, yang tinggal hanyalah unsur kedua yang dikenal dengan sifat-sifat ketuhanan (lahut). Pada saat menghilangkan sifatsifat kemanusiaannya, pada saat itu pula manusia akan fana dan Tuhan dapat mengambil tempat dalam diri yang bersangkutan. Di situlah roh manusia dan Tuhannya bersatu.
Pengalaman seperti ini digambarkan dalam syair-syair sufi atau biasa disebut syuthuhat (theopatical stammering) sebagai berikut.
“Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah Aku.”
Dalam syair lain dikatakan, “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh, jika engkau lihat aku engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.”