Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Dari ayat-ayat dan penjelasan konsep keutuhan antara Al-Haq dan al-Khalq, Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam-nya menggambarkan dengan bait-bait sebagai berikut:
“Bagaimana dapat digambarkan bahwa Allah terhijab oleh sesuatu. Padahal Dia-lah yang menampakkan segala sesuatu.”
“Bagaimana dapat digambarkan bahwa Dia terhijab oleh sesuatu, padahal Dia tampak untuk segala sesuatu.”
“Bagaimana dapat digambarkan bahwa Dia terhijab oleh sesuatu, padahal Dia tampak sebelum adanya segala sesuatu.”
“Bagaimana dapat digambarkan bahwa Dia terhijab oleh sesuatu, padahal Dia lebih tampak dari segala sesuatu.”
“Bagaimana dapat digambarkan bahwa Dia terhijab dari sesuatu, padahal Dia yang tunggal dan tidak ada sesuatupun bersama-Nya.”
“Bagaimana dapat digambarkan bahwa Dia terhijab oleh sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu daripada sesuatu.”
“Bagaimana dapat digambarkan bahwa Dia terhijab oleh sesuatu, padahal kalau tidak ada Dia maka tidaklah ada segala sesuatu.”
“Sungguh mengherankan bagaimanakah yang wujud dapat tampak dalam sesuatu yang tidak ada. Atau bagimanakah yang baru (makhluk) dapat tetap bersama-sama dengan yang memilki sifat qidam (terdahulu).”
“Adalah termasuk kebodohan orang yang meninggalkan apa yang sudah dimilikinya hanya karena hendak mencari yang baru dalam satu waktu, padahal Allah telah memilih baginya pada waktu itu.”
Dari perspektif seperti ini, relasi Tuhan dan hamba lebih menonjol dengan hubungan cinta kasih. Tuhan akan tampak sebagai 'sosok' Mahapengasih-penyayang, bukan Mahakeras dan Mahapenghukum.
Inilah relasi Tuhan dan Hamba yang sesungguhnya sebagaimana diformulasikan di dalam konsep basmalah, bismillahirrahmanirrahim (dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).