Oleh: Erdy Nasrul
Muncul pertanyaan di benaknya, mengapa mengaji harus membayar? Bukankah itu menyulitkan anak-anak yang mengalami impitan ekonomi?
Saat berdiri 2005, hanya puluhan anak yang mengaji di Alquran Center. Kini, tak kurang dari 700 peserta bergabung di lembaga nirlaba tersebut.
“Domisili mereka tersebar di Jakarta, Lampung, Tasikmalaya, Sukabumi, dan Bandung Barat,” kenang Endah Sri Suparti, pendiri Alquran Center mengawali kisahnya.
Upaya Endah membangun lembaganya itu tidaklah mudah. Mulanya dia sekadar prihatin akan kondisi anak-anak di sekitar kontrakan yang ditempatinya di Cijantung pada 2005. Sore hari, setelah dirinya selesai bertugas sebagai pramugari, dia terduduk di depan rumah.
Ketika itu, segerombolan anak bermain-main di depan rumah kontrakannya dengan wajah tanpa senyuman. Sementara, ada segerombolan anak, baik lelaki maupun perempuan berbusana Muslim, menuju tempat pengajian sekitar Cijantung.
Endah bertanya-tanya, mengapa ada anak-anak yang tidak ikut mengaji. Dia kemudian mendekati anak-anak itu sambil bertanya, “Mengapa kalian tidak mengaji?”
Kemudian, anak-anak itu menjawab tidak ada biaya untuk membayar ngaji. Mereka lebih memilih bermain, beraktivitas di luar rumah untuk mengisi kekosongan.
Semenjak itu, Endah merasa prihatin dengan mereka. Muncul pertanyaan di benaknya, mengapa mengaji harus membayar? Bukankah itu menyulitkan anak-anak yang ekonomi.
Akan sangat tragis jika mereka tidak mengaji hanya karena tidak mempunyai uang. Mereka nantinya akan jauh dari Alquran. Jika mereka jauh dari Alquran maka dikhawatirkan nantinya mereka akan berakhlak tidak baik. “Ini tidak boleh terjadi,” kata dia.
Wanita kelahiran Cirebon 30 tahun lalu itu kemudian mengajarkan anak-anak membaca Alquran. “Mudah, tapi sesekali susah,” kata wanita dengan tinggi badan 162 cm ini. Dia mengajak suaminya, Dian Assafri, untuk mengajar anak-anak ngaji secara gratis.
Awalnya, bersama sang suami Endah mengajar lima orang murid di kontrakan rumah, sekitar Jalan Masjid al-Jadid I, Cijantung. Pengajian kecil itu diberi nama Bintang Kecil az-Zahra. Nama bintang kecil diambil karena pesertanya hanya lima anak.
Kelima anak itu disimbolkan dengan bintang yang memiliki lima sudut. Lama kelamaan muridnya bertambah banyak menjadi seratus anak. Mereka berdatangan dari Kelurahan Baru, Cijantung, dan Kalisari.
Rumah kontrakan yang ditempatinya sempat tidak cukup menampung anak-anak mengaji. Jika waktu mengaji tiba, anak-anak ada yang duduk di emperan jalan.