REPUBLIKA.CO.ID, DSN-MUI juga mendasarkan fatwanya dengan pendapat para ulama tentang bolehnya asuransi syariah di antaranya: “Segala madharat (bahaya) harus dihilangkan.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, 60).
“Tidak diragukan lagi bahwa asuransi taawuni (tolong-menolong) dibolehkan dalam syariat Islam, karena hal itu termasuk akad tabarru’ dan sebagai bentuk tolong-menolong dalam kebaikan karena setiap peserta membayar kepesertaaannya (preminya) secara sukarela untuk meringankan dampak risiko dan memulihkan kerugian yang dialami salah seorang peserta asuransi.” (Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami, cet. IV tahun 1997, juz V/3416).
“Asas pelarangan dalam asuransi (konvensional) adalah karena ia mengandung (unsur) gharar yang dilarang oleh syariat. Larangan syariah terhadap gharar yang dimaksud disini adalah pada akad-akad pertukaran (muawadhah).” (Husain Hamid Hasan, Hukmu al-Syariah al-Islamiyyah fi Uquud al-Ta’miin, Darul I’tisham, 1976).
DSN-MUI juga mendasarkan fatwa ini pada substansi fatwa DSN nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Kedua, Udang-Undang Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan pasal 7 Keppres Nomor 55 tahun 2002.
Kemudian, surat dari AJB Bumiputera 1912 No.277/Dir/BS/X/2002 tertanggal 16 Oktober 2002 perihal permohonan fatwa.
Karenanya, dalam Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Rabu, 23 Oktober 2002 M/16 Sya’ban 1423 H, diputuskan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, dalam Ketentuan Umum, DSN-MUI menetapkan:
- Asuransi Haji yang tidak dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang menggunakan sistem konvensional.
- Asuransi Haji yang dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
- Asuransi Haji yang berdasarkan prinsip syariah bersifat taawuni (tolong menolong) antar sesama jamaah haji.
- Akad asuransi haji adalah akad tabarru’ (hibah) yang bertujuan untuk menolong sesama jama’ah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jamaah haji sebagai pemberi tabarru’ dengan Asuransi Syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Kedua, dalam Ketentuan Khusus, DSN-MUI menetapkan:
- Menteri Agama bertindak sebagai pemegang polis induk dari seluruh jamaah haji dan bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Jamaah haji berkewajiban membayar premi sebagai dana tabarru’ yang merupakan bagian dari komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
- Premi asuransi haji yang diterima oleh asuransi syariah harus dipisahkan dari premi-premi asuransi lainnya.
- Asuransi syariah dapat menginvestasikan dana tabarru’ sesuai dengan Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, dan hasil investasi ditambahkan ke dalam dana tabarru’.
- Asuransi Syariah berhak memperoleh ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar.
- Asuransi Syariah berkewajiban membayar klaim kepada jamaah haji sebagai peserta asuransi berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
- Surplus Operasional adalah hak jamaah haji yang pengelolaannya diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang polis induk untuk kemaslahatan umat.
Ketiga, penyelesaian perselisihan. Menurut DSN-MUI, jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah yang berkedudukan di Indonesia setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada 23 Oktober 2002 bertepatan dengan 16 Sya’ban 1423 H, dan ditanda tangani oleh Ketua Umum MUI KH MA Sahal Mahfudh dan Sekretaris MUI Prof Dr HM Din Syamsuddin.