Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Jatuhnya batu meteor raksasa ke orbit bumi merupakan peristiwa ketentuan-Nya (qadha). Sedangkan, bagaimana detail dan berapa banyak debu dan puing-puing pecahan batu meteor merupakan qadar-Nya.
Jatuhnya beberapa gelas dari meja ke lantai pasti diketahui banyak orang akan mengakibatkan pecahnya gelas-gelas itu, tapi tak seorang pun yang bisa menghitung berapa pecahan masing-masing gelas itu.
Peristiwa jatuhnya beberapa gelas ke lantai dan mengakibatkan pecahnya gelas-gelas itu adalah qadha. Tetapi, berapa jumlah pecahan masing-masing gelas merupakan wilayah qadr. Dengan demikian, wilayah qadr jauh lebih rumit dari wilayah qadha. Peristiwa qadha dan qadar kedua-duanya tercatat di dalam Lauh al-Mahfuzh.
Dalam artikel terdahulu diungkapkan berbagai pendapat ulama tasawuf tentang Lauh al-Mahfuzh. Ada yang mengatakan Lauh al-Mahfuzh tidak tunggal, melainkan ada beberapa dan bertingkat-tingkat.
Al-Majlisi mendukung pendapat Ibnu Abbas yang mengatakan ada dua macam lembaran (lauhain), yaitu lembaran yang terpelihara (Lauh al-Mahfuzh) yang paling agung dan tidak tersentuh dengan perubahan dan lembaran yang mengalami perubahan (Lauh al-Mahwu) yang masing memungkinkan adanya perubahan.
Sedangkan, al-Kasyani mengatakan ada empat lembaran (al-alwah), sebagaimana dikutip Murata, yaitu lembaran yang mencatat tentang ketentuan permanen (qadha), lembaran takaran atau ukuran (qadr), lembaran “langit dunia”, dan lembaran materi yang menerima bentuk-bentuk dari dunia nyata secara visual.
Alquran sendiri menggunakan beberapa bentuk jamak (alwah), seperti: "Dan telah Kami tuliskan untuk Musa dalam lembaran-lembaran (al-awah) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): "Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik." (QS. al-A'raaf [7]:145).
Ar-Razi berpendapat Lauh al-Mahfuzh hanya satu, tetapi lembaran-lembaran lain yang derajatnya di bawah Lauh al-Mahfuzh masih banyak. Kata “wama yasthurun” dalam QS al-Qalam (68):1 yang menggunakan bentuk jamak bukan berarti di sana banyak Lauh Mahfuzh, tetapi hanya untuk keagungan (li al-ta'dhim).