Ahad 02 Mar 2014 20:42 WIB

MUI: Sertifikasi Halal Domain Ulama

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Fernan Rahadi
Sertifikasi Halal.    (ilustrasi)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Sertifikasi Halal. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Produk Halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Amidhan, mengatakan sertifikasi halal merupakan domain ulama, bukan pemerintah. ''MUI tentu saja jengah dengan keinginan pemerintah mengambil alih kewenangan MUI,'' kata Amidhan saat dihubungi Republika, Ahad (2/3).

''Kami kurang sependapat kalau sertifikat halal diambil alih pemerintah. Fungsi MUI dalam peran sertifikasi halal itu sangat penting, dimana halal tidaknya sebuah produk dihasilkan dengan apa yang disebut fatwa tertulis yang sudah dibahas bersama ormas-ormas Islam,'' tutur Amidhan.

MUI berhak mengeluarkan sertifikat halal karena merupakan lembaga yang menaungi beragam organisasi umat Islam, yang terlibat aktif ada NU, Muhammadiyah, Persis dan ormas Islam lainnya. ''Sehingga  diharapkan setiap keputusan yang dikeluarkan MUI soal sertifikasi halal bisa diterima semua umat,'' jelas Amidhan.

Kalau sertifikasi halal itu, lanjutnya, tidak dikeluarkan MUI justru jadi aneh. ''Bisa jadi nantinya akan ada sertifikasi halal NU, sertifikasi halal Muhammadiyah, dan lain-lainnya,'' terang Amidhan yang sangat menyayangkan ditundanya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH).

Amidhan mengkhawatirkan, produk tidak halal bisa dijadikan halal, atau pemerintah lupa melihat ada unsur ketidakhalalan dalam bahan baku yang menjadi bagian dari produk bersangkutan. ''MUI dalam konteks sertifikasi halal bisa lebih independen dibandingkan pemerintah karena bebas kepentingan,'' tegasnya yang berharap jalan keluarnya sebaiknya MUI bersinergi saja dengan pemerintah.

''Itu mungkin pilihan paling tepat. Pemerintah dengan BP POM-nya bisa menentukan layak tidaknya sebuah produk dijual di Indonesia. Dan, MUI yang melanjutkan apakah produk yang layak jual itu halal atau tidak. Pemerintah juga bisa melakukan tindakan hukum jika produk bersangkutan dinilai tidak aman atau tidak halal, nah peran ini kan yang tidak bisa dilakukan MUI. Jadi domain kita jelas. Pemerintah tidak bisa mengambil domain ulama. Sertifikasi halal itu domain ulama (MUI) melalui Komisi Fatwa yang beranggotakan ulama dari berbagai organisasi Islam,'' papar Amidhan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement