REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Achmad Syalaby Ichsan/ Fuji Pratiwi
DPR tetap menginginkan kewenangan sertifikasi halal ada di MUI.
JAKARTA -- Silang pendapat soal lembaga yang paling berwenang mengeluarkan sertifikat halal belum menemukan titik temu. Badan Sertifikasi Nasional (BSN) menawarkan jalan tengah.
Solusi ini diyakini bisa memediasi Kementerian Agama (Kemenag) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait substansi Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH).
Kepala BSN Bambang Prasetya mengatakan, harus ada pihak ketiga untuk mengelola sertifikasi halal yang terlepas dari MUI dan Kemenag secara institusi.
“BSN melalui Komite Akreditasi Nasional (KAN) sebenarnya sudah diberi mandat untuk turut mengambil bagian dari proses labelisasi halal,” kata Bambang saat berkunjung ke kantor redaksi Republika di Jakarta, Selasa (4/3).
RUU JPH sudah sembilan tahun dibahas di DPR. Lambannya pembahasan RUU JPH disebabkan perbedaan konsep soal lembaga yang berwenang memberikan sertifikasi halal.
DPR menginginkan agar kewenangan tetap berada di tangan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI sebagaimana yang sudah berjalan selama ini. Sedangkan, pemerintah menginginkan kewenangan lembaga pemberi sertifikat halal berada di bawah pemerintah.
Bambang menjelaskan, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 1999 pada penjelasan pasal 11 ayat 1, KAN bertugas melakukan akreditasi bagi lembaga pemeriksa halal (LPH).
Sayangnya, otoritas yang dimiliki KAN untuk mengakreditasi LPH tersebut tidak berjalan sejak beleid itu digulirkan 15 tahun lalu.
Kemandekan terjadi akibat adanya ketidaksinkronan dengan LPPOM MUI. Dengan adanya kisruh yang terjadi saat ini, Bambang pun meminta agar fungsi KAN dikembalikan seperti semula. “BSN siap membentuk KAN halal,” tutur dia.
Bambang menjelaskan, KAN berisi unsur pemerintah, profesional, dan pengusaha. Dalam proses sertifikasi halal, KAN akan menunjuk LPH yang dipenuhi para peneliti.
MUI akan menerapkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh LPH guna menjamin keberpihakan pemeriksa kepada kepentingan umat Islam. Adapun Kemenag berperan menjalankan fungsi layaknya regulator untuk mengatur dan mengawasi proses sertifikasi.
Menurut dia, skema tersebut merupakan rekomendasi dari Standard Mutual Insurance Company (SMIC) yang sudah diterapkan secara internasional. Selain untuk halal, skema tersebut juga diterapkan untuk standardisasi berbagai produk di Indonesia, seperti kayu dari hutan lestari.
Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim menegaskan, MUI tetap enggan mengalihkan kewenangan sertifikasi halal pada lembaga lain. Lukmanul tak melihat solusi KAN merupakan pilihan terbaik.
Alasannya, membangun sistem sertifikasi halal tidaklah sederhana. Lagi pula, MUI sudah membangun sistem sertifikasi halal di Indonesia dan merambah dunia internasional selama 25 tahun.
“Ini proses berharga, kalau diambil alih malah terjadi kemunduran,” kata Lukmanul. Pengambilalihan hanya akan menimbulkan gangguan terhadap proses usaha masyarakat. “Jangan sampai kehalalan mengganggu bisnis masyarakat.”
Anggota Komisi VIII DPR Achmad Rubae juga menolak solusi yang ditawarkan BSN. Menurut Rubae, membentuk lembaga baru sertifikasi halal yang terdiri dari berbagai elemen ormas dan Kemenag, sama saja memperkecil peran MUI.
“Bagi kami di DPR, kewenangan MUI sebagai lembaga yang mengeluarkan label halal itu justru harus diperkuat karena kewenangan syariat terkait halal memang ada di ulama,” ujarnya.
Menurut Rubae, tawaran dari BSN seharusnya dibalik, yakni MUI sebagai lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal harus diperkuat dari beberapa elemen ormas Islam dan Kemenag, khususnya pada LPPOM MUI.
Dengan demikian, MUI sebagai representasi ulama tidak menjadi suplemen, tapi lembaga yang berwenang penuh.