REPUBLIKA.CO.ID, SIMFEROPOL -- Crimea pada hari ini (Ahad, 16/3) melakukan pemungutan suara (referendum) untuk menentukan apakah wilayah itu akan berpisah dengan Ukraina dan kemudian bergabung dengan Rusia. Referendum itu meningkatkan krisis keamanan di wilayah pinggir Eropa tersebut seperti saat berlangsungnya Perang Dingin.
Sekira 1,5 juta orang diminta memberikan suara mereka di Crimea, semenanjung di Ukraina yang dihuni penduduk mayoritas etnis Rusia. Pilihan-pilihan yang dihadapkan kepada para penduduk adalah apakah Crimea akan bergabung dengan Rusia atau tetap menjadi bagian dari Ukraina dengan mengambil lebih banyak kekuasaan.
Tempat-tempat pemungutan suara dibuka pada pukul 06.00 GMT atau Ahad (16/3) pukul 13.00 WIB dan ditutup pada 18.00 GMT atau Senin (17/3) pukul 01.00 WIB.
Negara-negara Barat mengatakan pihaknya tidak akan mengakui hasil referendum, sementara Moskow bersikeras bahwa pemungutan suara itu merupakan contoh penentuan nasib sendiri seperti yang terjadi pada Kosovo.
Pasukan Rusia dan milisi-milisi pro-Moskow mengambil kendali semenanjung yang strategis itu setelah presiden Ukraina yang didukung Kremlin, Viktor Yanukovych, meninggalkan Kiev bulan lalu, menyusul berlangsungnya unjuk rasa selama tiga bulan yang menentang kepemimpinannya.
Markas-markas militer Ukraina di kawasan itu, yang menjadi tempat pangkalan Armada Laut Hitam Rusia sejak abad ke-18, berada dalam kepungan namun tidak ada bentrokan bersenjata. Tidak jelas apa yang akan terjadi dengan markas-markas tersebut setelah pemungutan suara berakhir.
Beberapa serangan dialami oleh para wartawan dan pegiat prokesatuan, yang kemudian dikecam oleh Amnesti Internasional sebagai kejadian yang sangat mengkhawatirkan. Washington telah mengabaikan pemungutan suara yang dilakukan 'di bawah todongan senjata'.
sementara pemerintahan baru di Ukraina menyebut referendum itu tidak sah dan khawatir bahwa Moskow sedang berupaya menghasut pemberontakan di wilayah-wilayah Ukraina timur yang condong ke Rusia. Tiga aktivis tewas di kota sebelah timur, Donetsk dan Kharkiv, menjelang berlangsungya referendum di Crimea dan para pendukung Rusia telah meminta agar pemungutan suara serupa soal pemisahan juga dilakukan di wilayah-wilayah Ukraina lainnya.
Anggota parlemen Rusia telah memberika lampu hijau kepada Presiden Vladimir Putin untuk mencaplok Ukraina kapanpun ia mau, dengan mengacu pada pentingnya melindungi etnis Rusia dari kalangan radikal ultranasionalis.