REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar agronomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Bintoro mengungkap potensi produksi sagu di Indonesia lebih besar dibandingkan beras.
"Untuk menghasilkan 30 juta ton beras per tahun diperlukan lahan seluas 12 juta hektare, sedangkan untuk menghasilkan 30 juta ton sagu hanya diperlukan lahan seluas satu juta hektare," kata Bintoro di Jakarta, Rabu (26/3).
Karena itu, dengan luas lahan lima juta hektare yang ada di Papua dan Papua Barat saja bisa dihasilkan 150 juta ton pati sagu. Jumlah itu, kata Bintoro, bisa untuk memberi makan satu miliar orang. Bintoro mengatakan untuk memaksimalkan potensi produksi sagu, maka hutan sagu harus ditata menyerupai perkebunan dengan memangkas pohon-pohonnya dengan jarak yang teratur, yaitu delapan meter.
Ia mengatakan tanaman sagu memiliki banyak anakan dan membentuk rumpun. Secara alami hanya sebagian kecil anakan yang dapat tumbuh dan mengandung pati karena setiap anakan berkompetisi mengambil unsur hara dari tanah, air dan oksigen.
"Agar pertumbuhannya cepat dan memiliki kadar pati tinggi maka jarak rumpun yang ideal adalah setiap delapan meter dengan hanya 10 tanaman berbagai umur dalam satu rumpun," tuturnya.
Dengan jarak tersebut, maka setiap hektare lahan terdapat 156 rumpun sagu. Dalam setahun, katakanlah sagu yang bisa dipanen 100 pohon, dan bila setiap pohon menghasilkan 200 kilogram hingga 400 kilogram, maka setiap hektare dapat menghasilkan 20 ton hingga 40 ton pati sagu kering.
Dengan penataan hutan sagu menjadi perkebunan, maka setiap rumpun dapat dipanen setiap tahun dan tanaman tidak pernah habis karena setiap tahun muncul anakan baru. Namun, hanya satu anakan yang dipelihara setiap tahun.
Bintoro menjadi salah satu pembicara dalam diskusi Pengembangan Industrialisasi Sagu Berbasis Inovasi Teknologi untuk Membangun Ketahanan Pangan Nasional yang diadakan Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Mapiptek).
Selain Bintoro, pembicara lainnya antara lain mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Rudy Tjahjohutomo dan Direktur Pusat Teknologi Agroindustri BPPT Priyo Atmaji.