REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Djibril Muhammad, Asep K Nurzaman
JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) heran terhadap sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang lamban bereaksi terkait jilbab polisi wanita (polwan).
Sikap Presiden sangat bertolak belakang dengan keputusan mengganti istilah Cina dengan Tionghoa atau Tiongkok.
“Dibandingkan dengan kepentingan lain, kok pemerintah lebih cepat mengeluarkan regulasi atau ketentuan. Berapa lama lagi kita harus menunggu? Kalau pemerintahan ganti, bisa lain lagi ceritanya,” kata Ketua MUI Amidhan Shaberah kepada Republika, Rabu (26/3).
Pekan lalu, Presiden SBY baru saja menandatangani Keputusan Presiden Nomor 12/2014 tentang penggantian istilah Cina menjadi Tionghoa atau Tiongkok.
Menurut Amidhan, jika Presiden SBY tidak segera mengeluarkan aturan resmi terkait jilbab polwan, pemerintahan saat ini dinilai telah melanggar HAM.
Sebab, negara berkewajiban membuat regulasi terkait kebebasan menjalankan ibadah sesuai keyakinan agama yang dianut warganya.
''Kita tidak bicara mayoritas minoritas. Faktanya, Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Mengapa sih tidak bisa adil terhadap Muslim di Indonesia?” ujar Amidhan.
Mengenai langkah konkret, Amidhan menegaskan, MUI hanya bisa mendesak dan mengingatkan pemerintah agar berlaku sesuai aturan dan undang-undang yang ada.
“Kita minta ada peraturan juga untuk jilbab Polri, jilbab di institusi pendidikan, jilbab di rumah sakit, dan di mana-mana. Karena, jilbab itu soal syariat agama,” katanya.
Harapan senada disampaikan Ketua Umum Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Tutty Alawiyah. Tutty berharap, Presiden SBY segera terpanggil untuk menerbitkan payung hukum penggunaan jilbab bagi polwan.
BKMT pun sudah melayangkan surat resmi berisi desakan kepada Kepala Polri Jenderal Sutarman dan Presiden SBY.
“Saya ikut prihatin atas alotnya pemberlakuan seragam berjilbab bagi polwan yang ingin menjalankan syariat agamanya sesuai jaminan konstitusi. Jalan keluarnya bisa segera terbitkan payung hukum penggunaan jilbab bagi polwan,” kata Tutty yang juga rektor Universitas Assyafiiyah Jakarta.
Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution menyatakan, Presiden SBY perlu mengambil inisiatif untuk menghilangkan segala diskriminasi penggunaan jilbab.
Adanya Peraturan Presiden penting sebagai bentuk penegasan dibolehkannya penggunaan jilbab di seluruh instansi, baik negeri maupun swasta, serta lembaga pendidikan.
Menurut Maneger, tingkat pelarangan jilbab di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Padahal, Indonesia telah meratifikasi hak-hak sipil dan politik sesuai Pasal 28 UUD 1945.
Dalam Pasal 22 UU Nomor 39/1999 tentang HAM, Indonesia menjunjung tinggi kebebasan beribadah dan beragama.
“Kami melihat ada pihak yang tidak menjalankan undang-undang. Termasuk, ada aturan yang tidak harmonis antara UUD 45 dan undang-undang di berbagai instansi, seperti kepolisian dan lembaga pendidikan terkait larangan penggunaan jilbab,” ujar Maneger.
Saat berkunjung ke Yogyakarta, pekan lalu, Kapolri mengatakan, peraturan pemakaian jilbab polwan masih dievaluasi karena akan berdampak pada perubahan peraturan dasar kepolisian.
“Ini kami masih evaluasi, bukan tidak kami evaluasi, karena itu menjadi tuntutan masyarakat,” kata Sutarman.