Oleh: Ani Nursalikah
Dari sekian banyak kajian mengenai seni dikte, ada dua hal yang bisa disimpulkan. Seni dikte tidak berarti “seni mendiktekan”, tetapi lebih merupakan “seni mengarang”.
Kedua, garapan utama seni ini adalah penulisan surat. Dua hal tersebut saling berkaitan. Sejak awal kemunculannya, penulisan surat (resmi negara) selalu dilakukan melalui pendiktean. Dikte juga dapat diartikan mengarang karena ketika seseorang mendiktekan, sebenarnya ia sedang bertindak layaknya pengarang.
Bermula dari imla'
George A Maksidi dalam bukunya Cita Humanisme Islam mengatakan, istilah dikte dipinjam dari kebudayaan Islam klasik. Imla’ secara harfiah berarti dikte. Artinya, disampaikan melalui metode pendiktean spontan tanpa persiapan.
Ars dictaminis dalam tradisi Islam klasik kemudian sampai ke dunia Barat melalui apa yang disebut Charles Homer Haskins sebagai “arus pembelajaran baru”. Arus pembelajaran baru ini mencapai Barat melalui Italia, Sisilia, dan Spanyol. Teknik dictation dalam Islam merupakan salah satu unsur baru yang datang ke Barat.
Dikte pada tradisi Arab klasik dipandang sebagai metode yang diperlukan untuk mempelajari kajian adab. Perkembangan kajian adab (humaniora Arab klasik) sendiri diawali oleh kajian tata bahasa dan leksikografi pada abad ke-7 atau pertama Hijriah.
Kedua kajian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan para ulama yang bersandar pada teks keagamaan. Kajian juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan administrasi perkantoran.
Dalam pendidikan Islam, metode dikte memainkan peranan penting dan mendasar. Ketika seorang anak mulai belajar membaca, mereka juga mulai belajar menulis. Ia bisa mengikuti metode belajar pendiktean begitu ia bisa menulis.
Untuk mempelajari bahasa Arab klasik, diperlukan dikte ketimbang sekadar menulis. Seseorang baru bisa memastikan ia belajar bahasa Arab dengan benar hanya ketika mendengarnya. Karena, bahasa Arab hanya konsonannya yang ditulis.