Kamis 03 Apr 2014 16:11 WIB

Al-Kindi, Jembatan Filsafat Islam dan Yunani (1)

Al-Kindi (ilustrasi).
Foto: Etsu.edu
Al-Kindi (ilustrasi).

Oleh: Ani Nursalikah

Ia adalah orang yang mengawali debat mengenai filsafat dalam Islam ortodoks.

Abu Yusuf Yaqub bin Ishaq adalah salah satu filsuf Islam terkemuka. Dunia mengenalnya sebagai al-Kindi. Dunia melihatnya sebagai jembatan bagi filsafat Yunani dan Islam.

Al-Kindi hidup sebagai cendekiawan brilian abad kesembilan ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa di Baghdad, Irak. Ia adalah orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepada putra khalifah. Dia gemar mempelajari pemikiran Aristoteles yang telah diterjemahkan.

Sumbangsih al-Kindi yang paling signifikan adalah terminologi filsafat dan pengembangan kosakata filsafat dalam bahasa Arab. Karyanya ini dilanjutkan oleh Ibnu Sina pada abad ke-11.

Al-Kindi adalah orang yang mengawali debat mengenai filsafat dalam Islam ortodoks. Gagasan al-Kindi mungkin terdengar tidak revolusioner.

Namun, pada masanya, mengembangkan ilmu pengetahuan asing bisa dianggap cukup mengagumkan. Saat itu filsafat dianggap sebagai ilmu pengetahuan asing yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan Arab, seperti tata bahasa dan studi Alquran.

Al-Kindi berasal dari etnis Arab dari suku Kinda. Ia lahir dan mengenyam pendidikan di Kufa sebelum melanjutkan pendidikan di Baghdad. Ia meninggal dunia di Baghdad antara 866-873 M. Ia dikenal sebagai filsuf Arab. Tidak banyak yang diketahui mengenai kehidupan pribadi al-Kindi.

Berbeda dengan filsuf sebelumnya yang meski Muslim, bukanlah berasal dari Arab. Ilmuwan ini biasanya mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa kedua mereka. Ia memiliki daftar karya yang panjang, yang sayangnya hilang sehingga tidak banyak ilmuwan modern yang bisa mempelajari naskahnya.

Tulisan al-Kindi tidak terlalu populer karena dibayang-bayangi filsuf lain yang lebih terkenal, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement