Senin 07 Apr 2014 11:46 WIB

Cina Ubah Persepsi Halal

Dua remaja Muslim Cina. (ilustrasi)
Foto: AP/Andy Wong
Dua remaja Muslim Cina. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti

Cina harus membangun citra baik seperti yang telah dilakukan negara non-Muslim lain seperti Australia, Brasil dan Selandia Baru.

Cina mulai melirik pasar Muslim. Cina beberapa kali mengirim delegasi perdagangan ke negara Islam. Mantan presiden Cina Hu Jintao pun menyempatkan berkunjung dua kali ke Arab Saudi.

Menurut asisten profesor pemasaran di Nottingham University Business School, Muhammad Mohsin Butt, Pemerintah Cina dan pihak swasta serius untuk menguasai pasar makanan Muslim. Butt menyebut, Cina jauh lebih serius dalam kehalalan makanan.

Ini dibuktikan dengan keikutsertaan Cina dalam berbagai konferensi halal internasional, membangun pusat industri halal dan zona industri dan investasi dalam bentuk usaha bersama dengan negara Muslim.

Dia mencontohkan, Pemerintah Ningxia di Cina menyelenggarakan Festival Internasional Komoditas Muslim dan Makanan Halal. Mereka melakukan investasi dalam bentuk The Investment and Trade Fair Muslim. Keduanya diselenggarakan sejak tahun 2005.

Sedangkan, di Qinghai telah diselenggarakan pameran internasional produk dan makanan halal sejak 2007 lalu. Kegiatan tersebut ditujukan agar produk halal Cina dikenal luas. Sehingga, usaha kecil yang menyediakan bahan baku halal bisa berkembang.

Ningxia saat ini menjadi pusat produksi makanan halal yang ditunjuk pemerintah. Bahkan, mereka menawarkan makanan halal di kawasan industrinya sendiri. Untuk ekspansi internasional, pemerintah Ningxia juga memiliki kantor logistik di Dubai.

Total ekspor makanan halal dari Cina saat ini masih tercatat 100 juta USD per tahun. Jumlah ini masih terbilang minim jika melihat potensi Cina dan pasar yang terbuka lebar.

Perusahaan dari Cina yang berhasil menembus pasar halal internasional masih didominasi perusahaan besar. Perusahaan kecil dan UMKM lokal belum mampu berbuat seperti halnya industri elektronik yang berkembang pesat.

Butt menilai, meski Cina mulai mengubah persepsi mereka tentang halal, Cina masih menghadapi masalah terkait citra halal. "Kredibilitasnya belum dipercaya," kata Butt.

Cina lama dikenal sebagai negara dengan tingkat konsumsi babi yang besar. Selain itu, banyak skandal yang melibatkan industri makanan, seperti isu susu tercemar, obat-obatan palsu, dan telur yang rusak.

Prasangka terhadap industri halal Cina akan sulit lepas kalau Muslim Cina sendiri meragukan kehalalan produk mereka.

Seperti awal tahun lalu, saat beberapa perusahaan di Xinjiang lebih memilih mengimpor bahan makanan dari Malaysia. Warga Uighur lebih percaya makanan dari negara mayoritas Muslim daripada produksi dalam negeri.

Penduduk Uighur merupakan umat Islam minoritas di Cina. Sekitar satu hingga dua persen dari populasi di Cina menganut Islam. Sebanyak 20 juta orang Islam di Cina terkonsentrasi di Ningxia Hui, Provinsi Gansu, Provinsi Qinghai, dan Xinjiang.

Butt juga mempertanyakan daya saing produk makanan yang dibuat dengan sertifikat halal dari Cina. Jika memang Cina serius dengan bisnis halal, mereka harus melakukan pendekatan jangka panjang dan melakukan investasi besar.

“Ini lebih tentang pemasaran, bukan tentang agama,” ujarnya. Cina harus membangun citra baik seperti yang dilakukan negara non-Muslim lain, misalnya Australia, Brasil, dan Selandia Baru. Mereka mampu mengembangkan industri halal dan memengaruhi perusahaan Halal di Asia.

Seharusnya Cina dapat lebih mudah meningkatkan kredibilitas dan membersihkan citra negatifnya di mata Muslim. Karena negara ini memiliki hubungan historis dengan dunia Muslim dalam perdagangan dan migrasi.

Masalah lain yang harus dituntaskan Cina adalah standardisasi proses halal. Saat ini, setiap provinsi memiliki kewenangan menerapkan standar halal. Akhirnya, cap halal di Cina sangat beragam. Hal itu menjadi masalah jika datang permintaan untuk ekspor.

Standar halal yang dikembangkan di Ningxia saat ini hanya diterima di tujuh negara, di antaranya Arab Saudi, Mesir, Qatar, Australia, dan Malaysia. Jumlah itu tidak cukup untuk menguasai dunia.

Oktober 2012 lalu, parlemen Cina mendesak Dewan Negara untuk memberlakukan peraturan tentang makanan halal secara tepat waktu. Tetapi, hingga saat ini agenda tersebut belum terlihat implementasinya.

   

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement