Senin 07 Apr 2014 16:57 WIB

Kekerasan Pascapemilu Masih Membudaya (1)

 Kantor Walikota Palopo dibakar massa saat terjadi kerusuhan di Palopo, Sulawesi Selatan, Ahad (31/3).
Foto: Antara/Awaluddin
Kantor Walikota Palopo dibakar massa saat terjadi kerusuhan di Palopo, Sulawesi Selatan, Ahad (31/3).

Oleh: Mohammad Akbar      

Kekerasan sudah menjadi budaya di tengah masyarakat.

Beberapa waktu silam, ketegangan politik di Palopo, Sulawesi Selatan, meletup. Proses pemilihan wali kota secara langsung telah melecut terjadinya kerusuhan. Ratusan massa pendukung calon yang kalah mengamuk. Sejumlah perkantoran dibakar, termasuk di antaranya kantor wali kota.

Rusuh pascapemilukada seakan menjadi potret tersendiri bagi proses demokrasi yang ada di negeri ini. Kedewasaan sikap untuk menerima kemenangan dan kekalahan rupanya belum terlalu matang. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi sempat mengungkapkan fakta, sejak 2005, sudah lebih dari 50 orang meninggal akibat rusuh pemilukada.

Lantas, masih pantaskah pemilihan kepala daerah secara langsung ini dilakukan menyusul adanya kerusuhan-kerusuhan yang kerap terjadi?

“Kalau ditingkat wali kota mungkin perlu dipertimbangkan. Tapi, untuk level memilih gubernur, rasanya masih diperlukan,” kata Ketua Remaja Islam Sunda Kelapa (RISKA) Ardi Oktorio.

Rio, begitu panggilan akrabnya, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sesungguhnya masih belum siap untuk menjalani proses demokrasi serta menerima kemenangan atau kekalahan. Ia melihat adanya pemaksaan yang dilakukan sekelompok orang agar demokrasi di negeri ini dijalankan.

“Sayangnya, orang-orang yang mengerti mengenai demokrasi itu justru masih belum melakukan edukasi kepada masyarakat yang masih awam. Inilah yang menjadi terasa demokrasi itu seperti dipaksakan,” katanya.

Ia bahkan melihat adanya sekelompok orang yang mencoba memanfaatkan ketidakpahaman masyarakat awam untuk melecut terjadinya kerusuhan ketika kalah dalam proses pemilukada. Orang-orang tersebut, kata Rio, mencoba menyulut amarah publik melalui sentimen etnis, agama, maupun kelompok.

“Demokrasi itu kan pada dasarnya sebuah proses untuk meraih kekuasaan. Suara terbanyak adalah mereka yang berhak mewakili rakyat. Sayangnya, di tengah pemahaman dan kesadaran masyarakat yang kurang itu, ternyata dimanfaatkan sehingga menimbulkan rusuh di berbagai tempat,” ujar Rio.

Secara kultur, menurut Rio, demokrasi di Indonesia sebenarnya masih belum siap untuk dijalankan. Ia lebih setuju jika negeri ini mengedepankan prinsip musyawarah mufakat.

“Hal ini tertuang jelas dalam konstitusi berdirinya negara kita. Tapi, mengapa sekarang kita justru mengedepankan demokrasi yang terbukti telah gagal dijalankan di negeri ini,” katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement