Selasa 08 Apr 2014 09:08 WIB

Komnas HAM Dukung Gugatan

Pelajar berjilbab, ilustrasi
Pelajar berjilbab, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi

Presiden didesak turun tangan agar penyelesaian kasus jilbab tak parsial.

JAKARTA – Komnas HAM mendukung gugatan yang akan ditempuh Pelajar Islam Indonesia (PII). Langkah hukum ini terkait kasus pelarangan jilbab di 40 sekolah di Bali. Mereka menggugat sejumlah pihak yang dianggap membiarkan diskriminasi pada siswi Muslim.

Gugatan hukum ditujukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Gubernur Bali, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, dan kepala sekolah yang memberlakukan larangan jilbab terhadap siswi-siswi Muslim.

‘’Upaya hukum semacam itu merupakan setiap hak warga negara. Apalagi jika diyakini ada pembiaran pelanggaran hak oleh negara melalui aparaturnya,’’ kata Komisioner Komnas HAM Manager Nasution, Senin (7/4).

Dari perspektif HAM, jelas Maneger, pembiaran itu merupakan sebuah pelanggaran. Sebab, aparat negara tak melakukan apa-apa untuk mengakhiri diskriminasi. Ia memandang langkah PII menempuh langkah hukum merupakan hal positif.

Komnas HAM juga menegaskan konsisten dengan sikapnya. Mereka mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk secepatnya menyelesaikan kasus pelarangan jilbab di Bali ini. Mereka melihat fakta pula, ternyata pelarangan jilbab tak hanya terjadi sekolah.

Hal serupa terjadi di lembaga pemerintahan seperti kepolisian dan TNI.’’Kami tetap mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun tangan,’’ kata Maneger. Jika hanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengambil langkah, penyelesaiannya parsial.

Tindakan terbaik adalah, Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah. Menurut Maneger, tak akan ada efek buruk apapun terhadap diri Presiden kalau mengeluarkan peraturan untuk menuntaskan kasus pelarangan jilbab ini.

Justru, tindakan tersebut akan membuat SBY husnul khatimah di akhir masa jabatannya sebagai presiden. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyas mendukung PII yang mengajukan gugatan hukum dan mengajukan bukti pelarangan jilbab di Bali.

Yunahar beralasan, pendidikan dan kebebasan agama harus diberikan kepada setiap siswa. Jika tidak dilaksanakan, maka harus ada sanksi.

Kalau kepala dinas yang melanggar, menteri yang dituntut menjatuhkan sanksi. ‘’Tak ada sanksi, hanya basa-basi namanya.’’

Biasanya, saat ditemui langsung, sekolah tidak akan mengaku melarang jilbab. Namun praktiknya berbeda. Pendekatan persuasif memang bisa saja dilakukan tetapi harus ada batas waktu. Apalagi berurusan dengan soal agama.  Ini mencegah terlambatnya mengambil tindakan.

‘’Bali toleran dengan turis tanpa pakaian, tapi melarang jilbab. Apa itu sesuai Pancasila?’’ tanya Yunahar. Padahal,  yang mau menutup aurat itu anak-anak usia sekolah yang sudah punya kesadaran agama. Muhammadiyah juga akan membantu siswi berjilbab ke sekolah negeri.

Melalui pimpinan wilayah di Bali, Muhammadiyah mengupayakan agar para siswi itu tetap bisa berjilbab. Pernyataan Yunahar ini  merupakan respons cerita Kepala SD Muhammadiyah 3 Denpasar Mastulin mengenai kegundahan orang tua terhadap anaknya setamat SD.

Sebab, meski ada aturan yang menjamin kebebasan mengenakan jilbab namun pelarangan masih terjadi. Muhammadiyah memandang, jilbab merupakan hak para siswi Muslim. Ini bagian dari kebebasan menjalankan keyakinan agama.

Yunahar mengatakan, bila setelah tamat dari Muhammadiyah, para siswi itu melanjutkan belajar di sekolah Muhammadiyah, penggunaan jilbab tak masalah. ‘’Tapi jika pilihannya adalah SMP negeri, mereka memang harus dibantu,’’ katanya.

Meski Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh membolehkan jilbab di sekolah negeri, Muhammadiyah akan membantu mengadvokasi siswi Muslim. Ia menyatakan keleluasaan berjilbab bukan hanya untuk siswi Muhammadiyah tetap bagi semua.

Seharusnya, tak ada lagi pelarangan terhadap jilbab. Ketinggalan zaman, sekolah-sekolah yang melarang penggunaan jilbab. Masih adanya larangan jilbab di negara ini, kata Yunahar, mestinya membuat bangsa ini malu.

Selain itu, ia berharap pemerintah daerah dan tokoh masyarakat ikut menyelesaikan kasus jilbab. Sebab kasus ini merupakan isu toleransi beragama. Selama ini, para tokoh agama membicarakan toleransi. Tapi kenyataannya, tak semulus yang diwacanakan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement