Sabtu 26 Apr 2014 18:17 WIB

Filantropi Penopang Solidaritas (3)

Tradisi wakaf (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Tradisi wakaf (ilustrasi).

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih

Sikap filantropi ini sudah ada sejak zaman dulu sebenarnya. Sebagai contoh adalah ketika para penguasa Mesir Kuno menetapkan tanah untuk dimanfaatkan para pemuka agama.

Sedangkan, orang-orang Yunani dan Romawi Kuno menyumbangkan harta benda mereka untuk perpustakaan dan pendidikan.

Sedangkan, salah satu media filantropi dalam Islam yang paling utama, antara lain, wakaf. Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, ada tiga macam wakaf, yaitu wakaf keagamaan, wakaf derma (ini yang disebut sebagai filantropi), dan wakaf keluarga. Wakaf keagamaan contohnya adalah pembangunan Masjid Quba dan Masjid Nabawi.

Sedangkan, wakaf filantropi sendiri tercatat sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Misalnya, ketika Mukhairiq berkehendak mendermakan tujuh bidang kebun buah-buahan miliknya yang ada di Madinah setelah dia meninggal kepada Nabi SAW.

Pada 626 M, Mukhairiq meninggal dunia. Lalu, Nabi SAW mengambil alih kepemilikan tujuh bidang kebun tersebut dan menetapkannya sebagai wakaf derma untuk diambil manfaatnya bagi fakir miskin. Praktik seperti itu diikuti dan terus dijalankan oleh para sahabat Nabi dan para khalifah.

Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki sebidang tanah di Khaibar (di sekitar Kota Madinah) yang aku belum pernah memiliki tanah sebaik itu. Apa nasihat engkau kepadaku?”

Rasulullah SAW menjawab, “Jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu, sedekahkanlah hasilnya.” Lalu, Umar pun mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar itu dengan pengertian tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan.”

Mengutip laman Bimas Islam Kementerian Agama, diperoleh informasi bahwa sikap kedermawanan Umar tersebut kemudian diikuti oleh sahabat lainnya.

Misalnya, Abu Thalhah yang kemudian mewakafkan kebun Bairaha, Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanah di Makkah untuk anak keturunannya yang datang ke tempat suci tersebut, Usman menyedekahkan tanah di Khaibar, Mu'az bin Jabal mewakafkan rumah yang kini dikenal sebagai Dar al-Anshar.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement