REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Dinamika Aceh dari Universitas Syah Kuala, Aryos Nivada mengakui, Perda Syariat Islam di Aceh, cenderung tebang pilih.
"Cenderung tebang pilih. Kalau kena orang bawah langsung hukumannya langsung diterapkan, kalau yang punya jabatan atau kekuatan, hukum itu melemah dan tumpul," kata dia, Jumat (9/5).
Ia menyontohkan dengan tertangkapnya mantan ajudan walikota Banda Aceh yang mesum di kawasan Pantai Ulee Lheue, Selasa (2/4) lalu. Namun, menurut Aryos, hukuman syariat Islam tidak ditimpakan kepadanya.
Berbeda dengan kasus pemerkosaan yang dilakukan delapan pemuda terhadap seorang wanita di Gampong Lhok Bani, Langsa, Aceh, Kamis (1/05) lalu. Wanita tersebut yang dituding berzina, akan dihukum cambuk menurut peraturan setempat.
Aryos mengatakan, harus ada proses penyadaran dari Pemda Aceh. Aryos sepakat dengan Perda Islam, namun harus mengerti bagaimana konsepnya.
"Apakah sudah diterapkan sistem keadilan untuk semua, Apakah sudah benar menyeluruh untuk orang (polisi syariat) yang menerapkan Perda itu," kata Aryos.
Ia melanjutkan, Polisi Syariat harus memiliki kualifikasi yang mengerti benar nilai kelokalan Aceh, hukum, agama, dan masyarakat.
Masalahnya, Polisi Syariat Aceh merupakan penyidik berbasiskan sipil dan menggunakan pendekat KUHP. Jadi, dalam penerapan tidak hanya berpegang kepada Perda Aceh saja.
Aryos menjelaskan, dalam penerapan Perda Syariat, ada 'cetakan' kearifan lokal yang menjadi patokan. Ia menyontoh, jika ada kasus yang tidak bisa diselesaikan secara adat maka akan diselesaikan. Ini sesuai dengan kewenangan Qanun No 8 2009 tentang tata cara pelimpahan wewenang ke Majelis Adat Aceh.
Selain itu, harus ada batasan jelas antara tanggung jawab polisi nasional dengan polisi syariat. "Soalnya, batasan itu belum jelas penggantian kewenangannya," kata Aryos. Tapi bagaimanapun juga, menurut Aryos, polisi nasional harus menindak tegas para pelaku pemerkosa karena terkait tindak kriminal.