REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Rabu (7/5) malam lalu di sebuah ruang di pusat Kota Melbourne, terdengar suara-suara yang tak lazim. Pertama, terdengar suara perempuan yang seolah meneriakkan nada-nada tanpa kata, kemudian melengking, dan disambut suara laki-laki yang berat, menggumam, menggeram, bahkan meniru suara binatang.
Kedua suara tersebut bersahutan, terkadang seperti bercakap-cakap tanpa bahasa, terkadang harmonis, namun terkadang seperti bertengkar hebat.
"Garin Nugroho akan di sini selama lima hari. Ia tengah berbicara dengan salah satu sutradara teater besar Australia, Nigel Jamieson. Dan dia juga memperkenalkan beberapa proyek yang tengah berlangsung," jelas Kate.
Program residensi singkat dan perkenalan tersebut bernama Lab, yang sekitar setengah dari partisipannya berasal dari Asia dan sisanya dari Australia. Selain itu ada juga konferensi IETM Asia Satelite yang akan berlangsung selama tiga hari.
"Saya rasa sudah banyak seniman hebat dan pembicaraan yang terjadi. Tapi kami ingin membantu dalam infrastrukturnya. Jadi, seringkali, seniman lain di Melbourne kenal Senyawa, tapi orang-orang pusat kesenian Melbourne, atau tempat kesenian besar lain, tak kenal," ungkap Ben-Tovim saat menjelaskan tujuan konferensi IETM Asia Satelite.
Program ini didanai oleh sebuah yayasan, jelasnya. Pusat Kesenian Melbourne juga mendapat sedikit bantuan dari departemen luar negeri Australia. Sedangkan hubungan dengan pemerintah-pemerintah negara lain, semisal di Asia, belum dijalankan.
Rully dari Senyawa juga mengaku tidak mendapat bantuan pemerintah untuk datang ke Australia. Padahal, menurutnya, sebenarnya bentuk kerjasama kesenian macam ini lah yang lebih mengena untuk mendekatkan Australia dan Indonesia.
"Lebih mengena ke hati orang Australia yang begini, yang membaur," ucapnya.