Rabu 21 May 2014 15:28 WIB

Darurat Militer Diterapkan, Bangkok Normal

Rep: ani nursalikah/ Red: Taufik Rachman
Bendera Thailand
Foto: blogspot.com
Bendera Thailand

REPUBLIKA.CO.ID,BANGKOK -- Hari kedua pemberlakuan darurat militer di Thailand, hanya sedikit terlihat  kehadiran militer di jalan-jalan kota Bangkok, Rabu (21/5).

 

Satu hari pasca pemberlakuan, sejumlah pertemuan rahasia digelar pejabat tinggi pemerintahan, pemimpin partai oposisi,  komisi pemilihan umum dan pihak lain.

 

Meski berstatus darurat militer, di sekitar Bangkok tidak banyak perubahan. Kebanyakan tentara yang sebelumnya menduduki kawasan-kawasan kunci di ibukota telah ditarik. Warga berangkat ke kantor seperti biasa, pelajar bersekolah dan lalu lintas di jalan mengalami kemacetan seperti umumnya hari-hari kerja.

 

"Setelah 24 jam darurat militer, saya tidak melihat tentara satupun. Saya hanya melihat tentara di televisi. Tapii saya sedikit takut karena tidak tahu kapan darurat militer akan dicabut," ujar salah satu penjual donut di Silom Road, Buntham Lertpatraporn, seperti dikutip AP.

 

Panglima militer Jenderal Prayuth Chan-Ocha hanya memberikan sedikit penjelasan mengenai spekulasi apakah penerapan darurat militer merupakan awal  sebuah kudeta militer. Prayuth yang dikenal kurang bersahabat dengan media justru mengatakan tidak akan ada orang yang menjawab pertanyaan itu. "Di mana pemerintah sekarang? Dimana mereka? Saya tidak tahu," kata dia saat ditanya apakah tentara akan menjaga kontak dengan pemerintah.

 

Di antara selusin kebijakan yang diumumkan Selasa, militer mengatakan pihaknya melarang demonstran berunjuk rasa di luar lokasi protes. Militer juga melarang siaran televisi atau surat kabar yang dapat memicu kerusuhan. Darurat militer diberlakukan karena situasi negara dinilai tidak aman setelah aksi unjuk rasa selama enam bulan terakhir.

 

Menteri Kehakiman Chaikasem Nitisiri mengatakan kepala tentara terikat hukum untuk memberi tahu pemerintah atas setiap tindakannya. Pemerintah sekarang menunggu tindakan militer selanjutnya. "Tidak apa-apa Jenderal Prayuth mengumumkan darurat militer, tapi dia masih berada di bawah kendali pemerintah," ujarnya, seperti dilansir Bangkok Post, Rabu (21/5).

 

Juru bicara Senat Surachai Liangboonlertchai mengatakan senat akan menyelesaikan aturan yang menyatakan perdana menteri sementara dan pemerintah memiliki otoritas penuh menjalankan pemerintahan. Rencana untuk menyelesaikan krisis politik tersebut akan selesai dalam beebrapa hari mendatang.

 

Di Washington, diplomat Amerika untuk Asia Timur Daniel Russel menyerukan pemulihan awal demokrasi dan pemilihan umum yang bebas dan adil setelah militer turun tangan. Namun, Human Rights Watch mengkritik pemerintahan Obama karena gagal menyerukan pembalikan darurat militer.

 

AS justru mengatakan darurat militer akan menjadi jalan tercepat memulihkan demokrasi. Organisasi hak asasi manusia itu mengeluarkan pernyataan yang menyebut langkah tentara itu merupakan kudeta yang mengancam hak asasi manusia rakyat Thailand.

 

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon melalui juru bicaranya mendesak Thailand dan semua pihak menghormati prinsip-prinsip demokrasi untuk menahan diri dari kekerasan. Dia meminta semua pihak bekerja sama. Perdamaian di Thailand, menurutnya, hanya bisa terwujud jika semua orang saling menghormati prinsip demokrasi dan prosesnya.

 

Sekretaris Jenderal Partai oposisi PDRC Suthep Thaugsuban meminta pendukung mereka memberi dukungan moral kepada militer. Namun, ia juga meminta unjuk rasa tetap berlangsung sesuai jadwal. Jumat pekan ini, unjuk rasa akan dilakukan mulai dari Ratchadamnoen Avenue menuju Sukhumvit Road antara pukul 17.00-19.00 waktu setempat. Aksi juga akan dilanjutkan pada Sabtu dan Ahad di lokasi yang belum diberitahukan.

 

Pemimpin Front Persatuan untuk Demokrasi Melawan Kediktatoran (UDD) atau Kaus Merah Jatuporn Prompan mengatakan ia siap bernegosiasi dengan Suthep asal dilakukan dengan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Jatuporn juga bersikeras UDD akan memprotes jika ada aksi kudeta atau perdana menteri tidak sah menduduki jabatan.

 

Pengamat politik dari Universitas Chulalongkorn Panitan Wattanayagorn mengatakan peran militer dalam situasi politik ini masih positif, meski darurat militer dipandang sebagai langkah menuju kudeta.

 

"Militer memiliki dua pilihan jelas, yakni menggunakan kesempatan ini untuk menciptakan suasana kondusif untuk pemilu dan reformasi di bawah pemerintah sipil atau mendorong proses demokrasi bayangan untuk menggantikan pemerintahan sekarang dengan jaminan transisi bagi elit sebelumnya," kata pengamat hukum Verapat Pariyawong.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement