Senin 26 May 2014 19:09 WIB

Zakat dan Kemiskinan Multidimensi (2)

Pemulung cilik berjalan saat mencari sisa sampah di kawasan Jakarta Timur. Bank Dunia melaporkan sekitar 870 juta orang hidup sangat miskin di seluruh dunia.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Pemulung cilik berjalan saat mencari sisa sampah di kawasan Jakarta Timur. Bank Dunia melaporkan sekitar 870 juta orang hidup sangat miskin di seluruh dunia.

Oleh: Laily Dwi Arsyianti*

Hagenaars (1986) mendefinisikan kemiskinan dari ketidakmampuan dalam memuaskan kebutuhan dasar.

Sementara itu, Piven and Cloward (1993) menjelaskan bahwa ketidakmampuan tersebut hanya dilihat dari satu dimensi saja, yaitu ketidakmampuan secara material.

Selain dimensi tersebut, masih ada dimensi pendapatan dan dimensi sosial. Dimensi pendapatan berbeda dari dimensi material. Dimensi pendapatan dilihat dari garis kemiskinan, sementara dimensi material dilihat dari kebutuhan dasar.

Dimensi sosial dapat dilihat dari perspektif kebutuhan sosial, termasuk akses terhadap institusi yang memberikan layanan kepada masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan, dan informasi umum, juga kelangkaan fasilitas layanan yang ditawarkan kepada masyarakat.

Fitzpatrick (2001) menjelaskan alasan terjadinya kemiskinan. Ia menjabarkan ada lima alasan yang memungkinkan seseorang dikategorikan sebagai miskin: (i) keturunan; (ii) lingkaran kemiskinan; (iii) kegagalan dari kebijakan; (iv) hambatan struktural; (v) eksploitasi dari kondisi kapitalistik.

Bradshaw (2005) juga mengidentifikasi lima alasan terjadinya kemiskinan. Kelima alasan tersebut adalah: (i) kekurangan yang diderita individu; (ii) keberadaan budaya yang membudayakan kemiskinan; (iii) kehancuran ekonomi dan politik yang disertai dengan diskriminasi sosial-ekonomi; (iv) ketimpangan daerah; dan (v) latar belakang lingkungan yang menyeluruh.

Waidl et al (2008) merespons pendapat Bradshaw dengan menglasifikasikan kemiskinan ke dalam dua kategori. Pertama, kemiskinan akibat perilaku individu, seperti kemalasan. Kategori ini dapat disebabkan oleh keturunan ataupun lingkaran kemiskinan yang sudah terbentuk.

Waidl et al (2008) sependapat dengan Sen (1987; 1992) yang berpendapat bahwa kemiskinan bukan hanya akibat dari sisi pendapatan, melainkan juga akibat dari kapabilitas individu bersangkutan. Kapabilitas ini didasarkan atas kerangka kesejahteraan, kebebasan, pembangunan, masalah gender, keadilan, dan etika sosial.

Bagi Sen, kemiskinan bukan hanya terkait ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan dasar melainkan juga atas penindasan yang berlaku umum dan bukan merupakan suatu relatifitas yang pengertiannya berbeda antara satu dengan yang lain, penindasan ini berlaku absolut.

*Dosen Ekonomi Syariah FEM IPB

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement