REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) Hambalang yang menelan dana fantastis disebut terancam menjadi proyek sia-sia. Hal tersebut diungkapkan Direktur Pusat Kajian Keuangan dan Daerah Universitas Patria Artha Makassar Siswo Sujanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Selasa (3/6).
Siswo yang diundang Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang terdakwa Teuku Bagus Mokhamad Noor ini mengatakan, proyek Hambalang tak bisa lagi ditambah anggarannya. Pasalnya, pelaksanaan proyek yang digarap sejak 2010 silam hingga saat ini tak menunjukan perkembangan.
Pembangunan Hambalang yang malah terbengkalai disebutnya sudah tidak sesuai dengan kontrak awal. Sehingga, penuntasannya pun tidak bisa diteruskan karena hanya akan memakan dana Negara lagi.
“Sudah tidak ada lagi manfaat dari pembangunannanya. Anggara digelontorkan agar ada manfaat bagi rakyat, tapi proyek ini tidak, sehingga kalau ditambah anggaran (untuk meneruskan) pun tidak bisa, karena pengerjaan sama sekali tidak sesuai kontrak,” papar Siswo.
Siswo mengatakan, dalam perkara ini, Negara sudah menderita total loss karena uang yang dikucurkan tidak berbuah hasil apapun. Alokasi yang mencapai trilunan sudah dianggarakan, namun proyek tak kunjung selesai membuat Negara harus merugi.
Untuk itulah menurut dia, seharusnya dari awal perusahaan pelaksana proyek jangan dulu dibayar penuh sebelum proyek selesai. Kalaupun perlu, pembayaran tersebut hanya dilakukan sebagai tanda jadi ataupun uang muka. Ini menurutnya untuk menghindari kerugian adri proyek tersebut.
“Saat pembayaran harusnya ada verifikasi terlebih dulu. Kalau barang ada (proyek selesai) yang dibayar, kalau tidak yang tidak perlu dibayar,” ujarnya.
Fakta bahwa proyek Hambalang dikerjakan bersama perusahaan rekanan pemenang tender PT Adhi Karya-Wijaya Karya, menambah penyimpangan yang ada. Terlebih menurutnya, perusahaan rekanan tidak bisa mengajukan tagihan ongkos pembangunan sebelum proyek benar-benar riil selesai dikerjakan. “Seharusnya pembayaran diberikan sesuai prestasi pekerjaan yang ditetapkan dalam kontrak,” ujarnya.
Sebelumnya, Teuku Bagus Mokhmmad Noor didakwa sudah mengalihkan kontrak pekerjaan utama ke sejumlah perusahaan yang membuat dirinya dapat memperkaya diri sendiri sebesar Rp 4,3 miliar. Direktur Operasional Adhi Karya ini membuat perusahaannya bekerjasama dengan PT Wijaya Karya.
Dalam proyek ini, Badan Pemeriksa Keuangn (BPK) menyebut Negara mengalami kerugian hingga Rp 464,514 miliar. Jumlah tersebut berasal dari dua kali kucuran anggaran, yakni di tahun 2010, Rp 217,13 milyar dandi 2011 sebesar Rp 236,13 milyar.