REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi menilai pemimpin yang diinginkan investor adalah pemimpin yang dapat menjaga postur APBN. Defisit APBN diharapkan bisa dijaga di angka 3 persen dari PDB.
"Arah defisit APBN itu penting. Kalau pasar bisa diyakini bahwa postur APBN efisien, pasar finansial akan nyaman," ujar Kepala Ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan kemarin.
Rupiah dan pasar obligasi Surat Berharga Negara (SBN) diproyeksikan akan kembali menguat. Dijaganya defisit APBN pada 3 persen dari PDB berarti pemerintah harus menaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Fauzi mengatakan, pemerintah baru pasti akan menaikan harga BBM pada triwulan II-2014. Menurut dia, ada beberapa cara untuk menyesuaikan harga BBM di Indonesia yang seharga Rp 8.500 menjadi setara harga minyak internasional yang berharga Rp 11.000.
Cara pertama adalah pemerintah menaikan harga BBM sebesar 30-40 persen. Cara kedua adalah menaikannya secara perlahan sebesar 2-5 persen setiap bulan seperti yang dilakukan di India. "Atau bisa menyesuaikannya langsung dengan menetapkan subsidi per liter, misal Rp 2.000 atau Rp 2.500 per liter," ujarnya.
Namun, menurut dia, idealnya pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikan harga BBM saat ini agar tidak memberikan bom waktu fiskal pada pemerintah berikutnya. Fauzi mengatakan, hal yang dikhawatirkan pasar adalah pemerintahan baru yang membiarkan defisit APBN meledak di atas 3 persen dari PDB.
Dampak defisit APBN di atas 3 persen adalah pemerintah yang baru tak memiliki disiplin untuk menaikan harga BBM. "Penyelundupan dan penimbunan akan tetap marak dan misallocation of resources dalam arti kata migrasi BBM dari BBM non subsidi ke BBM subsidi akan tetap besar," ujarnya.
Dampak lainnya adalah kenaikan imbal hasil SBN dan Surat Utang Negara (SUN). Imbal hasil obligasi ditentukan oleh seberapa perlu debitur menarik dana. "Semakin besar utang, semakin besar bunganya. Semakin besar utangnya semakin besar imbal hasilnya," ujarnya.