REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Universitas Indonesia Refly Harun mengatakan beragam hasil survei soal persentase perolehan suara calon presiden bisa memancing ketidakpercayaan publik atas hasil survei itu.
Refly yang ditemui pada "Diskusi Pengaruh Hasil Survei Terhadap Perilaku Pemilu dalam Pemilu 2014" di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan ketidakpercayaan itu bisa menjadi potensi konflik jika salah satu pasangan dipastikan kalah tetapi lembaga survei tertentu mengatakan pasangan tersebut menang.
Potensi konflik tersebut, kata peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI itu, bisa terjadi di kelompok pemilih yang terpengaruh hasil lembaga survei tertentu hingga ke Mahkamah Konstitusi jika terjadi sengketa pemilihan umum.
"Saya kaitkan survei sikap pemilih pada perhitungan suara dan penyelesaian sengketa, andai marginnya hanya satu persen saja maka tidak cukup waktu bagi MK untuk menyelesaikannya," kata mantan Tim Ahli Antimafia Hukum Mahkamah Konstitusi itu.
Master hukum dari UI dan University of Notre Dome, AS, itu mempertanyakan hasil lembaga survei yang berbeda di beberapa media massa.
"Saya lihat koran tertentu hari ini menulis survei Jokowi unggul dan survei lainnya Prabowo unggul. Mana yang benar?" katanya.
Refly mengatakan masyarakat tidak perlu terlalu mencemaskan potensi konflik yang mungkin terjadi karena Indonesia berpengalaman mengatasi konflik pemilu pada Pemilu 2004 dan 2009.
"Saya memang cemas terjadi konflik meskipun negeri ini punya pengalaman mengatasi konflik pemilu di Mahkamah Konstitusi," katanya.
Refly meminta kepada tim sukses calon presiden untuk tidak menggunakan hasil lembaga survei sebagai alat untuk menggiring opini masyarakat.