REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden terpilih, Joko Widodo menilai jika ingin menyelamatkan APBN, maka kenaikan BBM harus dilakukan secara tegas dan serempak, bukan parsial seperti sekarang ini.
"Kalau mau tegas ya tegas. Tapi harus dengan kalkulasi yang matang," ujarnya, Senin (5/8).
Menurutnya, kebijakan untuk menaikan harga BBM harus pula melalui perhitungan yang matang. Contohnya efek ekonomi, sosial, dan politik yang dapat timbul dari kebijakan tersebut.
Jokowi mengaku tak setuju dengan cara pemerintah membatasi BBM di lokasi-lokasi tertentu. Menurutnya, kebijakan itu tak efektif dan dapat dengan mudah diakali oleh masyarakat.
Pembatasan bbm di sejumlah lokasi hanya akan membuat masyarakat mencari bbm di tempat lainya tidak dibatasi.
"Kalau begitu apa bedanya?" tanyanya.
Seperti diketahui, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengeluarkan kebijakan pembatasan penjualan solar dan premium bersubsidi melalui Surat Edaran BPH Migas No. 937/07/Ka BPH/2014 tertanggal 24 Juli 2014.
Sesuai surat edaran tersebut, penjualan solar bersubsidi tidak dilakukan di Jakarta Pusat mulai 1 Agustus 2014. Selanjutnya, mulai 4 Agustus 2014, penjualan solar bersubsidi di SPBU di wilayah tertentu di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali akan dibatasi pukul 08.00-18.00 waktu setempat.
Selain itu, ada pemangkasan solar untuk nelayan sebesar 20 persen, dan penghapusan BBM subsidi di jalan tol.
Pembatasan itu dilakukan untuk mencegah agar BBM bersubsidi tidak melebihi kuota yang hanya 46 juta kilo liter hingga akhir tahun ini.