REPUBLIKA.CO.ID, PALANGKA RAYA -- Program Manager Yayasan Satu Dunia, Anwari Natari mengakan Pemerintah Indonesia harus mengatur konglomerasi kepemilikan media massa usai Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. "Pemerintah harus bertindak tegas dalam mengatur kepemilikan media setelah Pilpres 2014, jika tidak ingin pilar demokrasi ke-4 itu roboh," katanya dalam siaran pers yang diterima Antara di Palangka Raya, Senin (11/8).
Ia mengatakan bahwa Pilpres 9 Juli 2014 telah membuka mata semua orang mengenai betapa carut-marutnya pengelolaan media massa di negeri ini. "Akibatnya, publik tidak mendapatkan informasi yang benar sebagai bekal mengambil keputusan untuk menentukan pilihan," ucapnya.
Aksi media-media partisan, ungkap Anwari, tidak hanya tercermin dalam pemberitaan, namun juga dalam prioritas belanja iklan capres di media massa sehingga media-media massa partisan tanpa malu-malu lagi mempublikasikan berita-berita yang menguntungkan salah satu capres tertentu saja.
Program Yayasan Satu Dunia ini adalah lembaga yang memantau baik media cetak maupun elektronik di lima kota yaitu DKI Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan, dan Banjarmasin. Tujuannya adalah membantu upaya-upaya analisis, kritik, dan pemantauan terhadap perilaku beriklan para capres, terutama melalui pengamatan terhadap belanja iklan capres di media massa.
Temuan Satu Dunia yang dipublikasikan melalui website www.iklancapres.org misalnya menunjukan bahwa kubu Prabowo-Hatta lebih banyak beriklan di MNC TV Group (MNCTV, RCTI, dan Global TV) dan televisi milik Group Bakrie (ANTV dan TV One). "Publik mengetahui bahwa pemilik modal media massa Group MNC dan Group Bakrie lebih condong ke kubu Prabowo-Hatta," tandasnya.
Pihaknya mencatat pada 23 Juni 2014 persentase iklan pasangan Prabowo-Hatta di RCTI sebesar 26,86 persen, Global TV sebesar 8,70 persen, MNC TV sebesar 12,77 persen, TV One 17,78 persen, ANTV sebesar 6,63 persen dan sisanya baru iklan di televisi lain. Belum jelas benar apakah hal itu berkaitan dengan diskon tarif iklan dari media massa yang pemilik modalnya mendukung capres terntentu itu.
Selanjutnya, menurut sebuah media massa, Partai Nasdem menyumbang pasangan Jokowi-JK sebanyak Rp42,1 miliar dalam bentuk iklan media televisi dan cetak. "Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang dimaksud sumbangan dalam bentuk iklan di media massa itu dalam naungan media group, MetroTV dan Harian Media Indonesia, dan jika benar demikan, apakah media group telah menjadi milik Partai Nasdem," tanya Anwari.
Ia menegaskan Satu Dunia sebagai organisasi yang peduli terhadap persoalan informasi, komunikasi, dan teknologi mendesak Pemerintah segera mengatur ulang konglomerasi media usai pilpres. "Kepemilikan silang media massa harus dibatasi, begitu pula intervensi pemilik modal terhadap pemberitaan," ujarnya.
Terkait iklan kampanye di media massa, pemerintah harus lebih jelas dan tegas mengaturnya, sehingga tidak muncul celah bagi pemilik modal untuk menjadikan media massa sebagai media partisan melalui iklan politik presiden atau partai politik yang didukungnya. Belum lagi bila hal ini dikaitkan dengan isu frekuensi publik.