REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketum Golkar, Agung Laksono, dinilai kerap berseberangan dengan arah kebijakan partai. Hal ini membuat dirinya kini terlempar dari jabatannya.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Ormas MKGR, Zainal Bintang, mengakui, Agung dicopot lantaran tidak setuju Partai Golkar berkoalisi dengan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. "Agung dianggap tidak setuju gabung ke kubu Prabowo-Hatta membentuk koalisi permanen," kata Zainal, kepada Republika, Senin (11/8).
Tidak cukup sampai di situ, manuver politik Agung yang menginginkan Musyawarah Nasional (Munas) Golkar dipercepat menjadi Oktober tahun ini juga menjadi penyebab.
Terlepas dari itu semua, Zainal menyatakan, keputusan yang diambil Aburizal sebagai Ketum itu bukanlah langkah politisi sejati. Sebab, Zainal menegaskan, Golkar bukan perusahaan milik Aburizal sehingga bisa melakukan tindakan-tindakan otoriter.
Aksi Ical memecat Agung dari posisi wakil ketum tentu melukai hati kader Golkar di seluruh Indonesia. Menurutnya, Agung merupakan sosok mengakar. Dia sudah mengabdikan diri di Golkar puluhan tahun. Kariernya dimulai dari kader Golkar di Kelurahan Kenari. Kemudian berkembang terus-menerus sampai dia memegang posisi DPP Golkar.
Karier yang dimulai sejak 1970-an itu menurutnya memberikan pengaruh besar. Pertama, kader dan simpatisan Agung di internal Golkar tersebar di seluruh Indonesia. Mereka semuanya siap membela Agung dengan maksimal.
Kedua, pemecatan ini dikhawatirkan memunculkan gerakan perlawanan. Kondisi internal Golkar nantinya bisa semakin memanas. Setelah langkah politik Golkar di pilpres kemarin gagal memenangkan Prabowo-Hatta, partai berlambang beringin ini akan semakin memanas lagi. Aksi pemecatan menurutnya akan memunculkan kekisruhan yang tidak diharapkan.
Dia menyatakan, seharusnya DPP Golkar mengambil kebijakan yang matang. Kearifan dan kebijaksanaan harus menjadi acuan utama dalam menentukan sikap. Jangan sampai keputusan dan langkah politik yang diambil melukai kader dan simpatisan di akar rumput.