REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI Ahmad Nizar, angkat bicara soal Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 yang melegalkan praktik aborsi. Menurutnya pelegalan praktik aborsi tidak tepat.
Secara pribadi ia keberatan dengan pelegalan aborsi anak hasil perkosaan. "Perkosaan dan menghargai kehidupan anak adalah dua hal yang berbeda,” ujar politikus Partai Demokrat tersebut kepada ROL di Jakarta, Senin (11/8).
Terkait isu pemanggilan Menteri Kesehatan oleh DPR, Nizar mengaku belum mendengar kabar tersebut. "Sepengetahuan saya, kalau yang dipersoalkan UU Kesehatan, yang lazim memanggil adalah Komisi DPR yang terlibat perumusan UU tersebut," kata dia.
Sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Dalam PP tersebut diatur pula masalah aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan.
Pengaturan ini mengacu pada UU 36/2009 pasal 75 ayat 1 yang menyebutkan setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Dalam pasal 31 ayat 2 disebutkan tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan bila kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Indikasi kedaruratan meliputi sejumlah kondisi antara lain kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu dan atau kesehatan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Penentuan indikasi kedaruratan medis, berdasarkan pasal 33 ayat 1 dan 2, dilakukan oleh tim kelayakan aborsi yang dilakukan paling sedikit terdiri dari dua orang tenaga kesehatan yang diketuai dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.