REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masa depan PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) dinilai sulit untuk diselamatkan. Peluang perusahaan maskpai penerbangan milik pemerintah itu untuk beroperasi kembali juga sulit diwujudkan.
"Karena sebagian besar rute Merpati sudah diambil alih oleh Garuda (PT Garuda Indonesia Tbk)," kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Santoso Eddy Wibowo, Rabu (13/8).
Menurutnya, peluang Merpati untuk bangkit kembali sangat tipis. Jika pemerintah memang serius ingin menyelamatkan perusahaan pelat merah tersebut, maka harus ada restrukturisasi besar-besaran terhadap manajemen maskapai. Namun, opsi ini dinilainya sulit untuk diterapkan.
Apalagi Merpati sudah beberapa kali mengalami pergantian direksi sebelumnya, namun tetap saja tidak menyelesaikan masalah. Di samping itu, pemerintah juga sudah berulangkali mengucurkan dana untuk menyehatkan maskapai ini. Tapi langkah ini pun tidak juga membuahkan hasil.
Jika ingin restrukturisasi besar-besaran dengan manajemen yang benar-benar baru dan bagus, kata Eddy, itu artinya pemerintah harus berani memulai dari nol lagi.
"Persoalannya, siapa yang akan menanggung risikonya? Apalagi utang-utang Merpati saat ini sudah mencapai Rp 7,6 triliun, dan mungkin dari waktu ke waktu akan terus bertambah. Ini juga menjadi masalah," tuturnya.
Karena itu, ia menyarankan agar permasalahan kompleks yang dihadapi PT MNA saat ini ditangani secara realistis oleh semua pihak yang berkepentingan.
"Sulit bagi Merpati untuk terbang tinggi lagi. Kalau seandainya memang harus dilikuidasi, mari kita sama-sama melihat mungkin masih ada anak perusahaannya yang bisa diselamatkan. Misalnya perusahaan maintainance-nya yang saya rasa masih bisa memberikan revenue (pendapatan) yang tinggi," tuturnya.