REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Postur pemerintahan di Indonesia terbukti menimbulkan inefisiensi anggaran. Hal ini terbukti dengan adanya overlaping program pemerintahan. Ujung-ujungnya berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Direktur Pusat Kajian Analis Lembaga Administrasi Negara, Anwar Sanusi, mencontohkan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau tersebut ditangani ditjen pesisir dan pulau kecil di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kalau ada kemiskinan, maka ditangani pula oleh kementerian sosial. Pulau kecil biasanya masuk daerah tertinggal. Kementerian pembangunan daerah tertinggal juga menangani. "Ini overlaping yang luar biasa," imbuh Anwar Sanusi, di Kantor DPP PKB, Jakarta, Rabu (13/8).
Ditambah lagi, kementerian-kementerian yang dibentuk, terlalu banyak. Kabinet Indonesia Bersatu jilid II memiliki 34 kementerian. Cina yang memiliki 1,3 miliar penduduk hanya memiliki 23 kementerian. Inggris hanya 26 kementerian. Korea Selatan hanya 17 kementerian. Yang memiliki lebih dari 30 kementerian adalah negara-negara yang baru berkembang. "Srilanka, Banglades, India, termasuk Indonesia," imbuhnya.
Anwar memaparkan situasi politik membuat jumlah kementerian membengkak. Transaksi politik melatarbelakangi dibentuknya kementerian yang membengkak. Indonesia, jelasnya, pernah memiliki kementerian yang efisien. Pada kabinet pembangunan II, Indonesia hanya memiliki 25 kementerian.
Sayangnya, pada kabinet pembangunan III, Presiden Soeharto mulai membengkakkan kementerian. Tujuannya untuk mengakomodir kepentingan politik. Bayangkan, papar Anwar, sampai ada kementerian urusan khusus. "Ini khusus untuk menangani keperluannya presiden. Saya rasa ini tidak baik," imbuhnya.
Anwar memaparkan jika pada pemerintahan Jokowi nanti tidak berubah, maka nantinya akan tetap ada inefisiensi. Lebih dari itu, kepercayaan publik terhadap pemerintahan akan luntur. Kepentingan politik akan tetap diutamakan nantinya. Tujuan utama pemerintah untuk fokus kesejahteraan rakyat terabaikan.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Ahmad Erani Yustika, membenarkan hal tersebut. Selama ini, ia menambahkan, overlaping program pemerintah sering terjadi. Bahkan, overlaping ini sudah direncanakan sejak jauh.
"APBN yang disusun masih belum sepenuhnya mengadopsi anggaran yang paling diprioritaskan," imbuh Erani.
Hal ini membuat efektifitas anggaran kurang dapat dirasakan.Program yang dirancang belum disertai pengukuran solid. "Khususnya prioritas pembangunan," paparnya.
Hal ini lebih mengesankan penganggaran kurang maksimal dan bahkan cenderung tidap tepat sasaran.