REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Angraini menilai, banyak masalah terkait UU MD3. Indikatornya, banyak yang mengajukan uji materi terhadap undang-undang itu.
"Ada persoalan dalam undang-undang ini," ujar Direktur Ekseutif Perludem, Titi Anggraini usai menyerahkan berkas permohonan uji materi UU MD3 bersama Koalisi Perempuan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (19/8).
Perludem, katanya, menginventarisasi masalah tersebut. Antara lain, keterbukaan dan pelibatan publik dalam pembahasan UU MD3.
Serta, permintaan izin kepada Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memeriksa anggota dewan, dan masalah keterwakilan perempuan. "Ini menandakan secara formal dan material, penyusunan undang-undang ini bermasalah," ungkapnya.
Menurutnya, MK harus menetapkan adanya keterwakilan perempuan sebesar-besarnya 30 persen dalam pengusulan pimpinan kelengkapan anggota dewan. Ini sebagai komitmen untuk mendorong kesetaraan dan keadilan perempuan dalam politik.
"Ini bukannya simbol atau instrumen penghias. Inikan soal komitmen. Karena dalam perundangan politik lain, keterwakilan perempuan itu kan bagian tidak terpisahkan," katanya.
Titi pun mempertanyakan penghilangan keterwakilan di DPR yang merupakan institusi politik. "Seperti ada terencana untuk membatasi perempuan untuk menjadi ketua alat kelengkapan dewan," katanya.
Ia mengaku, memiliki kepentingan agar instrumen perundang-undangan berpihak kepada perempuan. Apalagi, semangat yang muncul dalam UU 17/2014 ternyata bertentangan dengan semangat yang digulirkan oleh MK sebagai pengawal konstitusi dalam putusan sebelumnya.
"Misalnya, putusan 2008 tentang zipper sistem. MK mengatakan itu diperlukan kesetaraan dan keadilan politik. Nah ternyata parlemen sebagai simbol keterlibatan perempuan dalam politik justru menegasikan dan menghapus peran perempuan untuk menjadi pimpinan alat kelengkapan dewan," katanya.
Ia menuturkan, perjalanan pembahasan UU 17/2014 cenderung eksklusif, tidak berkonsultasi dengan banyak pihak, serta adanya penghapusan peluang perempuan untuk memimpin di dewan. "Maka kami mengkhawatirkan (ini) merupakan sesuatu yang direncanakan mengurangi perempuan di parlemen," katanya