REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Constitutional & Electoral Reform Centre (Correct) Refly Harun mengatakan, banyak hal yang bisa diupayakan untuk menciptakan pilkada langsung yang lebih efisien.
Soal anggaran, pilkada serentak disebut bisa menekan pembiayaan. Aspek penyelenggaraan yang selama ini menjadi pos pengeluaran terbesar pun bisa ditekan.
Pengetatan ongkos pilkada juga bisa dilakukan dengan pengaturan ulang mekanisme pencalonan. Sektor ini yang sangat kental dengan politik transaksional melalui mahar politik.
"Sehingga tak rasional, tak masuk akal kalau menggeser pilkada langsung ke pilkada di DPR," kata Refly di Jakarta, Senin (8/9).
Koordinator divisi korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan mengatakan, RUU Pilkada harus mengatur klausul tentang politik uang.
"Politik uang disamakan dengan delik suap. Siapa pun yang memberi dan menerima dikenakan sanksi pidana," kata Abdullah.
Ia menjelaskan, pemberlakukan delik suap tersebut harus didukung dengan penegakan hukum yang tegas dari Bawaslu dan sentra penegakan hukum terpadu.
Peneliti Perkumpulan Pemilu Untuk Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto mengatakan, pilkada tidak langsung juga menutup kesempatan bagi calon perorangan.
"Beda dengan pilkada langsung siapa saja bisa mengumpulkan dukungan bisa maju. Kalau pilkada tidak langsung mereka harus berhubungan dengan fraksi, untuk menciptakan peluang saja sudah rumit apa lagi peluang menang," kata Didik.
Dari sembilan fraksi di DPR, enam fraksi lebih mendukung pilkada lewat DPRD. Yaitu, fraksi Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Gerindra, PAN, PPP, dan PKS. Pilkada langsung hanya didukung PDI Perjuangan, PKB, dan Partai Hanura.