REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan NU tidak memiliki tendensi politik terkait dukungan organisasi kemasyarakatan itu terhadap pemilihan kepala daerah oleh
DPRD.
"Ini merupakan keputusan para ulama sepuh yang dengan jernih menilai mudharat (dampak buruk) pilkada langsung sudah jelas, sementara manfaatnya belum tentu tercapai," kata Said Aqil di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat (12/9).
Said Aqil menyatakan bahwa sikap NU yang lebih setuju pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD diputuskan dalam Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU di Cirebon, Jawa Barat, tahun 2012, jauh sebelum menjadi perdebatan keras di DPR sekarang.
Said menjelaskan, dalam forum musyawarah tertinggi setelah muktamar itu para ulama menilai baik pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sama memiliki kelemahan.
Namun, lanjut dia, para kiai yang mengalami langsung kondisi di lapangan menilai efek negatif yang ditimbulkan oleh pilkada langsung lebih besar daripada pilkada tak langsung, terutama terkait dengan biaya yang besar dan konflik horisontal akibat perbedaan dukungan.
"Kalau di PBNU, perbedaan pendapat dan pilihan politik dianggap sebagai hal yang biasa, tetapi belum tentu masyarakat di daerah bisa bersikap sama," katanya. (Baca: Hamdan Zoelva Prediksi RUU Pilkada Berpotensi Masuk Sidang MK)
Sikap NU ini, kata Said Aqil, akan terus dipegang selama belum ada keputusan baru dalam forum yang setara atau di muktamar sebagai forum permusyawaratan tertinggi organisasi.
Pembahasan RUU Pilkada di DPR berlangsung alot terutama terkait mekanisme pemilihan kepala daerah, antara pilihan tetap dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD.
Fraksi PDIP, PKB, dan Hanura memilih untuk mempertahankan pilkada langsung, sementara Golkar, Demokrat, PAN, PKS, PPP, dan Gerindra mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Perdebatan tentang pilihan pilkada langsung atau oleh DPRD tidak hanya terjadi di parlemen, namun juga pada sebagian kalangan masyarakat.