REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Inggris baru akan menggelar pemilu parlemen pada Mei 2015, namun perang urat syaraf sudah memanas. Salah satu isu yang diangkat partai oposisi, yakni Partai Buruh, adalah upah minimum se-Inggris yang dianggap masih rendah.
Pimpinan Partai Buruh Ed Miliband menilai kebanyakan rakyat merasa elite politik tidak peduli terhadap upah mereka. Padahal, kata Miliband, para pekerja ini adalah pencipta orang-orang kaya, pencipta wirausaha hebat, dan pebisnis andal.
"Jika Partai Buruh menang tidak akan ada lagi pekerja keras yang bergaji rendah," kata Miliband seperti dikutip BBC, Ahad (21/9).
Dari statistisk Partai Buruh, satu dari lima pekerja di Inggris bergaji rendah. Kondisi ini, menurut Miliband, sangat memprihatinkan mengingat tingginya beban kebutuhan hidup.
Partai Buruh menjanjikan upah minimum 8 poundsterling pada 2020 untuk merebut suara pada pemilu legislatif. Angka ini, kata Miliband, sepadan dengan upaya keras para pekerja Inggris dalam menjalanji profesinya sehari-hari.
Saat ini, upah minimum di Inggris 5,8 poundsterling untuk kota-kota tidak besar. Untuk kota-kota besar seperti London mencapai 6,5 poundsterling.
Partai Konservatif, partai berkuasa saat ini, merespons negatif janji Miliband. Menurut Menteri Kebudayaan Inggris Sajid Javid, kenaikan upah setinggi itu hanya akan menciptakan keadaan lebih buruk bagi warga Inggris, termasuk kaum buruhnya.
Partai Konservatif, kata dia, sudah menjawab permintaan kenaikan upah dengan mengangkat upah minimum per Oktober ini. Tapi, dengan menaikkan upah sampai 8 poundsterling sama saja dengan membahayakan perekonomian nasional Inggris.
"Kebijakan ini hanya akan membuang-buang uang, menciptakan utang lebih besar, dan menerapkan pajak yang lebih tinggi," kata Javid.